Jumat, 08 Februari 2013

Etika Pariwara Indonesia



Etika Pariwara Indonesia
LANDASAN PPPI
1. PERSPEKTIF

PPPI mengamati dengan seksama segala perkembangan dan kecendrungan yang terjadi di bidang periklanan, baik yang menyangkut aspek-aspek internal dan nasional, maupun yang menyangkut aspek internasional.

Dalam aspek internal, PPPI menyimak telah terjadinya pendewasaan, serta kehendak yang kuat untuk melakukan modernisasi dalam tubuh asosiasi. Untuk itu, PPPI menyempurnakan segala gerak langkahnya, agar tercapai kewirausahaan, dan profesionalitas yang setinggi-tingginya, dipandu oleh etika dan moral bangsa, serta dengan visi yang jauh kedepan.

Dalam aspek nasional, PPPI merasa terpanggil untuk mengembangkan periklanan nasional menjadi suatu totalitas kegiatan komunikasi pemasaran, dan yang berpadanan dengan dinamika jaman, namun tetap berakar pada budaya dan tradisi kemasyarakatan Indonesia. PPPI mengembangkan dan memanfaatkan persaingan yang terjadi antara para anggota maupun dengan para mitra usahanya, agar persaingan tersebut justru berdampak saling menghidupi, melengkapi, atau memajukan.

PPPI senantiasa mengambil peran penting dalam peningkatan kondisi ekonomi dan sosial-budaya masyarakat, melalui dukungan komunikasi pemasaran yang maslahat, efektif dan efisien.

Dalam aspek internasional, PPPI mengamati terciptanya ancaman maupun peluang sebagai dampak dari pergeseran sentra-sentra pasar, perubahan metode-metode pemasaran, dan perkembangan teknologi komunikasi, dengan berbagai dampak dan implikasinya bagi perkembangan komunikasi pemasaran nasional.


2. VISI

PPPI menyadari dengan sepenuh hati cita-cita seluruh bangsa dan negara untuk terwujudnya tumpah darah yang berkeadilan dan kemakmuran, berdasarkan falsafah bangsa dan konstitusi negara.

Bahwa upaya mewujudkan cita-cita itu, hanya dapat tercapai melalui pranata kenegaraan yang demokratis, dalam prikehidupan kemasyarakatan yang madani, dan yang dikelola oleh pamong yang amanah.

Bahwa pranata, peri kehidupan, dan kepamongan yang sedemikian, mensyarakatkan pula tercapainya tingkat kecanggihan yang tinggi pada industri periklanan nasional.

Bahwa industri periklanan nasional yang berpadanan, dengan tuntutan kebutuhan komunikasi dan pemasaran dunia, akan senantiasa membutuhkan upaya-upaya yang aktif, positif dan kreatif, dari segenap komponennya.

3. MISI

Dalam kiprahnya,usaha periklanan akan senantiasa turut berperan melaksanakan pembangunan sesuai dengan cita-citanya dan falsafah bangsa, maupun amanat dari isi dan jiwa konstitusi negara. Karena itu segala sumber daya periklanan perlu senantiasa dibina, diarahkan dan dimanfaatkan sebagai komponen penting dari aset nasional.

Sebagai komponen dan aset nasional, periklanan harus secara aktif, positif dan kreatif, terus membuktikan dirinya sebagai pemicu dan pemacu dinamika pembangunan bangsa dan negara.

Mengantisipasi kompleksitas tantangan pembangunan nasional, khusunya yang berdimensi persaingan global, periklanan perlu terus meningkatkan profesionalitas yang berlandaskan etika serta nilai-nilai luhur bangsa, seraya senantiasa membentengi diri dan masyarakat dengan ketahanan akal budi, dan budaya.

Semua ini diyakini akan menjadi periklanan nasional berkembang sebagai kekuatan digdaya, dan yang bukan saja ikut memperoleh manfaat dari perkembangan perekonomian dunia, namun sekalipun mampu mengimbangi segala pengaruh negatif yang mungkin timbul, akibat terjadinya saling budaya.

4. FUNGSI, PERAN DAN TANGGUNG JAWAB

Memelopori ditegakkannya swakrama antara seluruh seluruh unsur periklanan nasional, atas dasar saling memajukan dan saling menghormati, demi terciptanya periklanan yang sehat, jujur dan bertanggung jawab.

Mendinamisasikan segala upaya untuk memajukan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, maupun segala etika yang terkait, baik kedalam, maupun terhadap semua mitra kerjanya.

Memantapkan eksistensinya dengan menjadi asosiasi yang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh anggotanya, serta yang mengayomi, berwibawa, dan dibanggakan.

Meningkatkan citra asosiasi dan para anggotanya, dengan senantiasa mensosialisasikan peran, fungsi dan tanggung jawab periklanan dalam perkembangan bangsa dan negara.

Membela kepentingan industri periklanan nasional dalam percaturan internasional.
PENGANTAR TATA KRAMA PERIKLANAN

1. HIRARKI ATURAN

- Undang-undang R.I
- Peraturan Presiden R.I

- Peraturan Pemerintah R.I Kode Etik Profesi
- Peraturan Menteri
- Peraturan Direktur Jenderal

2. PERATURAN

Sifatnya mengikat
- Yang mengawasi dan membina jelas
- Rambu-rambunya jelas
- Ada sanksi yang jelas

3. TATA KRAMA

Tata Krama tidak mengikat
- Tergantung kepada niat dan hati nurani masing-masing.
- Yang mengawasi dan membina jelas
- Tidak ada sanksi yang memberatkan
- Sanksi tidak bisa diterapkan
- Pengawasan dan pembinaan tidak efektif
- Rambu-rambunya terbuka atas interpretasi

4. ACUAN

- UU RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
- UU RI Nomor 40 Tahun 1999
- UU RI Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Penyiaran
- UU RI Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan
- PP RI Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan

ACUAN

- Keputusan Menteri Kesehatan RI No. (rancangan) Tentang Petunjuk Pelaksanaan PP RI Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan
- PP RI No.81 Tahun 1999 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan
- PP RI No.38 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas PP No.81 Tahun 1999 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
- Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 368/Men.Kes/SK/IV/1994 Tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan, Rumah Tangga, Makanan, dan Minuman.
- Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia yang disempurnakan.
DEFINISI IKLAN

Segala bentuk pesan tentang suatu produk disampaikan melalui suatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat.

JENIS IKLAN

- Iklan di Media Massa termasuk Luar Ruang & Internet
- Advertorial
- 'Built-in'
- Poster & Selebaran
- Iklan Baris
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN


Pasal 9

1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan atau seolah-olah:
a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek sampingan tanpa keterengan yang lengkap;
k. Mengandung sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Pasal 10

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Pasal 12

Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan atau diiklankan.

Pasal 13

1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.

Pasal 17

1. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. Mengelabui konsumen mengenai fasilitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa.
b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa
c. Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

Pasal 20

Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pasal 60

1. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana di maksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 61

Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.

Pasal 62

1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)
2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Pasal 63

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. Perampasan barang tertentu;
b. Pengumuman keputusan hakim;
c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. Pencabutan izin usaha.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 40 TAHUN 1999TENTANG
P E R S
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a.       bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin;
b.      bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
c.       bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;
d.      bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
e.       bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman;
f.       bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers;
Mengingat :
1.      Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang- undang Dasar 1945;
2.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998    tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERS. UU
 BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1.      Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
2.   Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
3.   Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
4.   Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
5.   Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
6.   Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
7.   Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing.
8.   Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
9.   Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
10.  Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
11.  Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
12.  Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
13.  Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
14.  Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.
 BAB II
ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN PERANAN PERS
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
(1)   Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
(2)   Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pasal 4
(1)   Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
(2)   Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
(3)   Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
(4)   Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Pasal 5
(1)   Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
(2)   Pers wajib melayani Hak Jawab.
(3)   Pers wajib melayani Hak Tolak.
Pasal 6
Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :         
a.  memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;
c.  mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d.       melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan  kepentingan umum;
e.  memperjuangkan keadilan dan kebenaran;
 BAB III
WARTAWAN
Pasal 7
(1) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
(2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
 BAB IV
PERUSAHAAN PERS
Pasal 9
(1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Pasal 10
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Pasal 12
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Pasal 13
Perusahaan iklan dilarang memuat iklan :
a.     yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b.   minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.    peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Pasal 14
Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita.
 BAB V
DEWAN PERS
Pasal 15
(1)  Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
(2) Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
            a.  melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
            b.  menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
            c.  memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat  atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
            d.  mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
              e.  memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
            f.  mendata perusahaan pers;
(3)  Anggota Dewan Pers terdiri dari :
            a.  wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
            b.  wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
            c.  tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers;
(4)  Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
(5)  Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Presiden.
(6)  Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
(7)  Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari :
            a.  organisasi pers;
            b.  perusahaan pers;
            c.  bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.
 BAB VI
PERS ASING
Pasal 16
Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 17
(1)   Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
(2)   Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
 BAB VIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 18
(1)   Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(2)    Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(3)    Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
(1)   Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
(2)   Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP



Pasal 20
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku :
1.      Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara  Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia);
2.      Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala; Dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 21
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MULADI
Salinan sesuai dengan aslinya.
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II
PR
Edy Sudibyo
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENYIARAN

Pasal 42

Siaran iklan niaga dilarang memuat:

a. Promosi yang berkaitan dengan ajaran suatu agama atau aliran tertentu, ajaran politik atau idiologi tertentu, promosi pribadi, golongan atau kelompok tertentu;

b. Promosi barang dan jasa yang berlebihan-lebihan dan yang menyesatkan, baik mengenai mutu, asal isi, ukuran, sifat;

c. Iklan minuman keras dan sejenisnya, bahan/zat adiktif serta yang menggambarkan penggunaan rokok;

d. Hal-hal yang bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN
Pasal 33

1. Setiap label atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.

2. Setiap orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan tentang pangan yang diperdagangan melalui, dalam dan atau dengan label atau iklan apabila keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar atau menyesatkan.
Pasal 34

1. Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO. 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN

BAB II
IKLAN PANGAN
Bagian Pertama
Umum

Pasal 45


2. Penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau televisi, agen atau medium yang dipergunakan untuk myebarkan iklan, turut bertanggung jawab terhadap isi iklan yang tidak benar, kecuali yang bersangkutan telah mengambil tindakan yang diperlukan untuk meneliti kebenaran isi iklan yang bersangkutan.
3. Untuk kepentingan pengawasan, penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau televisi, agen dan atau medium yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan dilarang merahasiakan identitas, nama dan alamat pemasang iklan.

Pasal 47

1. Iklan dilarang dibuat dalam bentuk apapun diedarkan dan atau disebarluaskan dalam masyarakat dengan cara mendiskreditkan produk pangan lainnya.
2. Iklan dilarang semata-mata menampilkan anak-anak berusia dibawah 5 (lima) tahun dalam bentuk apapun, kecuali apabila pangan tersebut diperuntukkan bagi anak-anak yang berusia dibawah 5 (lima) tahun.
3. Iklan tentang pangan olahan tertentu yang mengandung bahan-bahan yang berkadar tinggi yang dapat membahayakan dan atau mengganggu pertumbuhan dan atau perkembangan anak-anak dilarang dimuat dalam media apapun yang secara khusus ditujukan untuk anak-anak.
4. Iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia sampai dengan 1 (satu) tahun, dilarang dimuat dalam media massa, kecuali dalam media cetak khusus tentang kesehatan, setelah mendapat persetujuan Menteri Kesehatan, dan dalam iklan yang bersangkutan wajib memuat keterangan bahwa pangan yang bersangkutan bukan pengganti ASI.

BAB III
IKLAN PANGAN
Bagian Kedua
Iklan Pangan yang Berkaitan dengan Gizi dan Kesehatan

Pasal 48

Pernyataan dalam bentuk apapun tentang manfaat pangan bagi kesehatan yang dicantumkan pada iklan dalam media massa, harus disertai dengan keterangan yang mendukung pernyataan itu pada iklan yang bersangkutan secara jelas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.


Pasal 49

1. Iklan dalam media massa yang menyatakan bahwa pangan tersebut adalah pangan yang diperuntukkan bagi orang yang menjalankan diet khusus, wajib mencantumkan unsur-unsur dari pangan yang mendukung pernyataan tersebut.

2. Selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), iklan tersebut wajib pula memuat keterangan tentang kandungan gizi pangan serta dampak yang mungkin terjadi apabila pangan tersebut dikonsumsi oleh orang lain yang tidak menjalankan diet khusus dimaksud.

Pasal 50

Iklan dilarang memuat keterangan atau pernyataan bahwa pangan tersebut adalah sumber energi yang unggul dan segera memberikan kekuatan.

BAB III
IKLAN PANGAN
Bagian Ketiga Iklan tentang Pangan untuk Kelompok Orang Tertentu

Pasal 51

1. Iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi bayi dan atau anak berumur dibawah lima tahun wajib memuat keterangan mengenai peruntukkannya.
2. Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), iklan dimaksud harus pula memuat peringatan mengenai dampak negatif pangan yang bersangkutan bagi kesehatan.

Pasal 52

Iklan tentang pangan olahan yang mengandung bahan yang dapat mengganggu pertumbuhan dan atau kesehatan anak, wajib memuat peringatan tentang dampak negatif pangan tersebut bagi pertumbuhan dan kesehatan anak.

Pasal 53

Iklan dilarang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan yang bersangkutan dapat berfungsi sebagai obat.

BAB III
IKLAN PANGAN
Bagian Keempat
Iklan yang berkaitan dengan Asal dan Sifat Bahan Pangan

Pasal 54

Iklan tentang pangan yang dibuat tanpa menggunakan atau hanya sebagian menggunakan bahan baku alamiah dilarang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan yang bersangkutan seluruhnya dibuat dari bahan alamiah.

Pasal 55

Iklan tentang pangan yang dibuat dari bahan setengah jadi, dilarang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan tersebut dibuat dari bahan yang segar.

Pasal 56

Iklan yang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan telah diperkaya dengan vitamin, mineral atau zat penambah gizi lainnya tidak dilarang, sepanjang hal tersebut benar dilakukan pada saat pengolahan pangan tersebut.
Pasal 57

Pangan yang dibuat atau berasal dari bahan alamiah tertentu hanya dapat dilakukan sebagai berasal dari bahan baku alamiah tersebut, apabila pangan tersebut mengandung bahan alamiah yang bersangkutan tidak kurang dari persyaratan minimal yang ditetapkan dalam standar Nasional Indonesia.

BAB III

IKLAN PANGAN
Bagian Kelima
Iklan Tentang Minuman Beralkohol

Pasal 58

1. Setiap orang dilarang mengiklankan minuman beralkohol dalam media massa apapun
2. Minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah minuman berkadar etanol (C2H5OH) lebih dari atau sama dengan 1% (satu per seratus)
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO. (RANCANGAN) TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 69 TAHUN 1999
TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN
BAB III
IKLAN PANGAN
Pasal 36

1. Materi yang akan diiklankan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Menteri Kesehatan;
2. Pangan yang didaftarkan hanya boleh diiklankan setelah mendapat nomor pendaftaran dari Depkes.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 1999
TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN

Bab II
PENYELENGGARAAN PENGAMANAN ROKOK

Bagian Ketiga
Keterangan Pada Label

Pasal 8

1. Peringatan kesehatan pada setiap label harus berbentuk tulisan.
2. Tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin".
3. Perubahan atau penambahan tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

Bagian Kelima
Iklan dan Promosi

Pasal 17

2. Iklan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di media cetak dan atau media luar ruangan

Pasal 18

Materi iklan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (2) dilarang:

a. merangsang atau menyarankan orang untuk merokok;
b. menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok memberikan manfaat kesehatan;

c. memeperagakan atau menggambarkan dalam bentuk gambar, tulisan atau gabungan keduanya, rokok atau orang sedang merokok atau mengarah pada orang yang sedang merokok;
d. ditujukan terhadap atau menampilkan dalam bentuk gambar atau tulisan anak dan atau wanita hamil;
e. mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah rokok.

Pasal 19

Iklan tidak boleh bertentangan denan norma yang berlaku di masyarakat

Pasal 20

1. Setiap iklan pada media cetak atau media luar ruangan harus mencantumkan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
2. Pencantuman peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditulis dengan huruf yang jelas sehingga mudah terbaca, dan dalam ukuran yang proporsional disesuaikan dengan ukuran iklan tersebut
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA No.38 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NO. 81 TAHUN 1999TENTANG PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN

Pasal 17


Iklan dan promosi rokok hanya dapat dilakukan oleh setiap orang yang memproduksi rokok dan atau yang memasukkan rokok dalam wilayah Indonesia.
Iklan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di media elektronik, media cetak atau media luar ruangan.
Penjelasan
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.81 Tahun 1999 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan
Pasal 17

Yang dimaksud dengan media luar ruangan antara lain billboard dan media elektronik (billboard elektronik) yang merada di luar ruangan. Iklan rokok pada media elektronik hanya dapat dilakukan pada pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat.
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, NO. 368/MEN.KES/SK/IV/1994 TENTANG PEDOMAN PERIKLANAN OBAT BEBAS, OBAT TRADISIONAL,ALAT KESEHATAN, KOSMETIKA, PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA MAKANAN DAN MINUMAN

PEDOMAN PERIKLANAN OBAT BEBAS

Petunjuk Teknis


Secara umum iklan obat harus mengacu pada "Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia", tetapi khusus untuk hal-hal yang bersifat teknis media, maka penerapannya harus didasarkan pada pedoman ini.
A.    Umum

Iklan obat dapat dimuat di media periklanan setelah rancangan iklan tersebut disetujui oleh Departemen Kesehatan RI.

6. Iklan obat tidak boleh mendorong penggunaan berlebihan dan penggunaan terus menerus.
7. Informasi mengenai produk obat dalam iklan harus sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam pasal 41 ayat (2) Undang-undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan sebagai berikut:
Objektif: harus memberikan informasi sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak boleh menyimpang dari sifat kemanfaatannya dan keamanan obat yang telah disetujui
Lengkap: harus mencantumkan tidak hanya informasi tentang khasiat obat, tetapi juga memberikan informasi tentang hal-hal yang harus diperhatikan, misalnya adanya kontra indikasi dan efek samping.
Tidak menyesatkan: informasi obat harus jujur, akurat, bertanggung jawab serta tidak boleh memanfaatkan kekuatiran masyarakat akan suatu masalah kesehatan. Disamping itu, cara penyajian informasi harus berselera baik dan pantas serta tidak boleh menimbulkan persepsi khusus di masyarakat yang mengakibatkan penggunaan obat berlebihan dan tidak berdasarkan kebutuhan.
8. Iklan obat tidak boleh ditujukan untuk khalayak anak-anak atau menampilkan anak-anak tanpa adanya supervisi orang dewasa atau memakai narasi suara anak-anak yang menganjurkan penggunaan obat. Iklan obat tidak boleh menggambarkan bahwa keputusan penggunaan obat diambil oleh anak - anak
9. Iklan obat tidak diperankan oleh tenaga profesi kesehatan atau aktor yang berperan sebagai profesi kesehatan atau menggunakan "setting" yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium.
10. Iklan obat tidak boleh memberikan pernyataan superlatif, komparatif tentang indikasi, kegunaan/manfaat obat.
11. Iklan obat tidak boleh:
- Memberikan anjuran dengan mengacu pada pernyataan profesi kesehatan mengenai khasiat, keamanan dan mutu obat (misalnya, "Dokter saya merekomendasi…")
- Memberikan anjuran mengenai khasiat, keamanan dan mutu obat yang dilakukan berlebihan.
12. Iklan obat harus memuat anjuran untuk mencari informasi yang tepat kepada profesi kesehatan mengenai kondisi kesehatan tertentu.
13. Iklan obat tidak boleh menunjukkan efek/kerja obat segera sesudah penggunaan obat.
14. Iklan obat tidak boleh menawarkan hadiah ataupun memberikan pernyataan garansi tentang indikasi, kegunaan/manfaat obat.
15. Iklan obat harus mencantumkan spot peringatan perhatian sebagai berikut:
BACA ATURAN PAKAI

JIKA SAKIT BERLANJUT

HUBUNGI DOKTER

Kecuali untuk iklan vitamin, spot peringatan perhatian sebagai berikut:

BACA ATURAN PAKAI

16. Ketentuan minimum yang harus dipenuhi oleh spot peringatan dalam butir (15) adalah sebagai berikut:
16.3 Untuk media Cetak: Spot dicantumkan dengan ketentuan sebagai berikut:

BACA ATURAN PAKAI

JIKA SAKIT BERLANJUT

HUBUNGI DOKTER

BACA ATURAN PAKAI

JIKA SAKIT BERLANJUT

HUBUNGI DOKTER

Jenis Huruf (font) : Helvetica, Medium

Ukuran Huruf : 18 pts

Jarak Baris (leading) : 18 (100%)

Jarak Kata (letter spacing) : Normal (100%)

Jarak Huruf (word spacing) : Normal (100%)

BACA ATURAN PAKAI

BACA ATURAN PAKAI

Jenis Huruf : Helvetica, Medium

Ukuran Huruf : 18 pts

Jarak Baris (leading) : 18 (100%), Profesional

Jarak Kata (letter spacing) : Normal (100%)

Jarak Huruf (word spacing) : Normal (100%)

Ukuran kotak spot tersebut harus dibuat proporsional (antara spot dan halaman iklan). Sehingga spot tersebut terlihat mencolok.

17. Iklan obat harus mencantumkan informasi mengenai:

17.1. Komposisi zat aktif obat dengan nama INN (khusus untuk media cetak); untuk media lain. Apabila ingin menyebutkan komposisi zat aktif, harus dengan nama INN.

17.2. Indikasi utama obat dan informasi mengenai keamanan obat.

17.3. Nama dagang obat.

17.4. Nama industri farmasi.

17.5. Nomor pendaftaran (khusus untuk media cetak)

PEDOMAN PERIKLANAN OBAT TRADISIONAL

Iklan obat tradisional tidak boleh menggunakan kata-kata: super, ultra, istimewa, top, tokcer, cespleng, manjur dan kata-kata lain yang semakna yang menyatakan khasiat dan kegunaan berlebihan atau memberi janji bahwa obat tradisional tersebut pasti menyembuhkan.
Iklan obat tradisional tidak boleh memuat pernyataan kesembuhan dari seseorang, anjuran, atau rekomendasi dari profesi kesehatan, peneliti, sesepuh, pakar, panutan, dan lain sebagainya.
Iklan obat tradisional tidak boleh menampilkan adegan, gambar, tanda, tulisan dan atau suara dan lainnya yang dianggap kurang sopan.
Iklan yang berwujud artikel yang menguraikan tentang hasil penelitian harus benar-benar berkaitan secara langsung dengan bahan baku (simplisia) atau produknya, dan informasi tersebut harus mengacu pada hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawakan.
Pada setiap iklan obat tradisional dicantumkan identitas kata "JAMU" dalam lingkaran.
Pada setiap akhir iklan obat tradisional harus mencantumkan spot peringatan sebagai berikut:

BACA ATURAN PAKAI

Ketentuan minimal yang harus dipenuhi untuk peringatan pada butir (13) sebagai berikut:
14.3 Untuk media cetak, spot iklan dicantumkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Tulisan harus jelas terbaca dan terlihat menyolok.
b. Huruf yang digunakan harus merupakan huruf kepital, hitam dan teba (bold letter)
c. Ukuran huruf minimal harus sama dengan huruf 'body copy'
Diberi kotak tepi hitam.
Iklan obat tradisional khusus untuk media cetak harus mencantumkan nomor pendaftaran.
Dilarang mengiklankan obat tradisional yang dinyatakan berkhasiat untuk mengobati atau mencegah penyakit kanker, tuberculosis, poliomelitis, penyakit kelamin, impotensi, thypus, kolera, tekanan darah tinggi, diabetes, lever dan penyakit lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

PEDOMAN PERIKLANAN MAKANAN DAN MINUMAN

Iklan makanan yang dibuat dengan bahan alami tertentu hanya boleh diiklankan sebagai berasal dari bahan alami tersebut, apabila makanan itu mengandung bahan alami yang bersangkutan tidak kurang dari kadar makanan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Contoh : Sari Apel; Apel Juice

a. Adalah produk cair yang keruh atau jernih yang diperoleh dari buah apel.

b. Padatan, jumlah tidak kurang dari 10%

Iklan makanan yang menyerupai atau dimaksud sebagai pengganti jenis makanan tertentu harus menyebutkan nama bahan yang digunakan.
Contoh : Susu Kedelai

Iklan makanan boleh mencantumkan pernyataan ”DIPERKAYA" atau "KAYA" sumber vitamin dan mineral bila pada sejumlah makanan yang biasa dikonsumsi satu hari terdapat paling sedikit dari jumlah yang dianjurkan (RDA/AKG).

Pernyataan makanan berkalori dapat diiklankan bila makanan tersebut dapat memberikan minimum 300 Kcal per hari.
Iklan makanan tidak boleh dimuat dengan ilustrasi peragaan maupun kata-kata berlebihan, sehingga dapat menyesatkan konsumen.
Iklan makanan tidak boleh menjurus kependapat bahwa makanan yang bersangkutan berkhasiat sebagai obat.
Makanan yang dibuat sebagian atau tanpa bahan pokok alami tidak boleh diiklankan seolah-olah makanan yang bersangkutan seluruhnya dibuat dari bahan alami.
Makanan yang dibuat dari bahan yang telah mengalami pengolahan, tidak boleh diiklankan dengan cara yang dapat memberi kesan seolah-olah makanan itu dibuat dari bahan yang segar.
Iklan makanan tidak boleh dengan sengaja menyatakan seolah-olah makanan yang berlabel gizi mempunyai kelebihan dari makanan yang tidak berlabel gizi.
Iklan makanan tidak boleh memuat pernyataan nilai khusus pada makanan apabila nilai tersebut tidak seluruhnya berasal dari makanan tersebut, tetapi sebagian diberikan oleh makanan lain yang dapat dikonsumsi bersama-sama (seperti nilai kalori pada makanan serealia untuk sarapan yang biasanya dimakan dengan susu dan gula).
Iklan makanan tidak boleh menyatakan bahwa makanan seolah-olah merupakan sumber protein, kecuali 20% kandungan sumber protein dan atau kecuali jumlah yang wajar dikonsumsi perhari mengandung tidak kurang 10 gram protein.