Sabtu, 28 April 2012

Sasaran Dakwah.


Bab I
PENDAHULUAN
Da’wah menurut bahasa memiliki pengerian yang sangat luas, dalam kamus al Munawwir disebutkan bahwa kata-kata da’wah bersalal dari kata:
دعا يدعو دعاعا - ودعوة  yang berarti “memanggil, mengundang”. Kemudian arti الدعوة adalah “do’a, seruan, panggilan, ajakan, undangan, dan permintaan.” Sedangkan الداعي berarti “orang yang berda’wah”. Sementara menurut Istilah da’wah memiliki interpretasi yang berfariatif. Mohammad Natsir memberikan defenisi Da’wah, “da’wah adalah sebagai satu upaya, proses menju Islam Kaffah, sebagai cara hidup total dalam satu bingkai harakatud-da’wah yang memiliki dimensi bina’an dan difa’an.”
Jadi dakwah secara kebahasaan adalah selain ajakan kepada sesuatu yang baik juga berarti ajakan kepada sesuatu yang buruk. Apabila ditinjau dari segi terminologi maka dakwah mengandung arti seluruh aktivitas manusia yang dilaksanakan secara sadar dan terencana yang bertujuan merubah pola pikir dan tingkah laku manusia secara dinamis ke arah yang lebih baik, sehingga terwujud kebahagiaan dan kedamaian manusia baik di dunia maupun di akhirat.
 Dakwah merupakan bagian penting dalam islam, sehingga sering dikatakan bahwa islam adalah agama dakwah. Melalui dakwah itulah ajaran islam bisa tersebar luas ke seluruh penjuru dunia. Melalui dakwah pula, ajaran islam diamalkan para pemeluknya sehingga tercemin dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat . Itulah kenapa, di dalam literatur al-Qur’an sendiri banyak dalil-dalil yang berbicara dan mengatur tentang apa dan bagaimana berdakwah.
 Tujuan dakwah itu sendri adalah menjadikan manusia muslim mampu mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan menyebarluaskan kepada masyarakat yang mula-mula apatis terhadap Islam menjadi orang yang suka rela menerimanya sebagai petunjuk aktivitas duniawi dan ukhrawi.
Untuk mencapai maksud tersebut diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dan
penuh optimis melaksanakan dakwah. Oleh karena itu seorang da`i harus memahami tujuan dakwah, sehingga segala kegiatannya benar-benar mengarah kepada tujuan seperti dikemukakan di atas. Seorang da`i harus yakin akan keberhasilannya, jika ia tidak yakin dapat menyebabkan terjadinya penyelewengan-penyelewengan di bidang dakwah.
Keberhasilan dakwah akan sangat bergantung kepada bagaimana da’i tersebut berdakwah. Tidak hanya penguasaan materi yang mumpuni, kemampuan dai dalam mengenal dan memahami ilmu dakwah pun sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dakwah itu sendiri.
.Jadi inti dari tujuan yang ingin dicapai dalam proses pelaksanaan dakwah adalah keridhaan Allah swt. dimana obyek dakwah tidak hanya terbatas kepada umat Islam saja, tetapi semua manusia bahkan untuk semua alam. Dari sudut manapun dakwah itu diarahkan, maka intinya adalah amar ma`ruf nahyi munkar yang bertujuan untuk merubah dari sesuatu yang negatif kepada yang positif, dari yang statis kepada kedinamisan sebagai upaya merealisasikan kebahagiaan dunia dan akhirat.














Bab II
PEMBAHASAN
Sesuai dengan tujuan yaitu menjadikan manusia muslim mampu mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan menyebarluaskan kepada masyarakat yang mula-mula apatis terhadap Islam menjadi orang yang suka rela menerimanya sebagai petunjuk aktivitas duniawi dan ukhrawi.
Al-Quran telah menyebutkan berbagai tehnik atau metode dakwah yang sesuai dengan karakter manusia. Yaitu dengan hikmah, dengan nasehat yang baik, dengan dialog yang baik, dan dengan kekuatan.
Dalam praktiknya penggunaan metode tersebut harus sesuai dengan urutannya. Nasehat yang baik harus sesuai dengan situasi dan kondisinya. Disamping itu perlu disertai penjelasan yang benar dan landasan dalil-dalil yang efektif dan semua itu harus dilakukan dengan penuh bijaksana.

Seperti dalam Surat berikut ini:
1.At Thahrim ayat 6
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Tafsir :
Tafsir Ibnu Katsir
Mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala,  قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا  “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka”, Mujahid (Sufyan As-Sauri mengatakan, “Apabila datang kepadamu suatu tafsiran dari Mujahid, hal itu sudah cukup bagimu”) mengatakan : “Bertaqwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Sedangkan Qatadah mengemukakan : “Yakni, hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka.”
Demikian itu pula yang dikemukakan oleh Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, dimana mereka mengatakan : “Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya, berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada mereka dan apa yang dilarang-Nya.”
Tafsir dari Departemen Agama Pemerintah Indonesia
Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka.
Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan salat dan bersabar, sebagaimana firman Allah SWT.
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu mengerjakannya (Q.S Taha: 132).
dan dijelaskan pula dengan firman-Nya:
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Q.S Asy Syu’ara’: 214).
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke 6 ini turun, Umar berkata: “Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rasulullah SAW. menjawab: “Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah caranya meluputkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan Allah.
Dari uraian diatas, dapat kita ambil poin-poin penting yang dapat kita jadikan pegangan dalam membina diri sendiri dan orang lain :
1. Niat yang lurus, semata-mata demi meraih ridha Allah subhanahu wa ta’ala, melaksanakan syari’ah islam dan melaksanakan da’wah.
  • Sebagaimana hadits dari Umar, “Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung pada niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan” (Muttafaqun ‘alaih).
2. Proses pembinaan dimulai dari diri sendiri.
  • Hal ini tersurat dengan jelas dalam At Tahrim yaitu “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Disini dikatakan “peliharalah dirimu” terlebih dahulu baru setelah itu dikatakan “keluargamu”.
  • Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Mujahid : ”Bertaqwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Disini Mujahid mengatakan bahwa kita diharuskan bertaqwa kepada Allah terlebih dahulu, baru setelah itu kita berpesan kepada keluarga kita untuk bertaqwa kepada Allah.
3. Bekal ‘ilmu adalah yang utama
  • Sebagaimana yang dikatakan Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, “Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya…”, dari kata “mengajari” jelas sekali tersirat bahwa posisi setiap muslim yang “mengajari” haruslah berilmu, sehingga ia bisa menyempurnakan kekurangan orang lain yang ia ajari.
  • Dan dari hadits, ketika Umar bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallaam, maka Rasulullah menjawab : “Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan kepadamu melakukannya.” Dari ini dapat kita ambil pelajaran bahwa untuk melarang dan memerintahkan orang lain berdasarkan syariat, maka kita harus terlebih dahulu paham apa saja larangan dan perintah itu. Dan hal ini adalah salah satu hal yang menguatkan pentingnya menuntut ‘ilmu.
4. Taqwa adalah kunci dalam memelihara diri kita sendiri dan keluarga kita dari api neraka. Dalam tafsir Ibnu Katsir dari surat Al Baqarah ayat 2, pada bagian “hudal lil muttaqiin”, disini dijelaskan definisi taqwa sebagai berikut :
·         Menurut suatu riwayat, Umar ibnul Khatthab r.a pernah bertanya kepada Ubay ibnu Ka’ab tentang makna taqwa, maka Ubay ibnu Ka’ab balik bertanya, “Pernahkah engkau menempuh jalan yang beronak duri?”. Umar menjawab, “Ya, pernah”. Ubay ibnu Ka’ab bertanya lagi, “Kemudian apa yang kamu lakukan?”. Umar menjawab “Aku bertahan dan berusaha sekuat tenaga untuk melampauinya.” Ubay ibnu Ka’ab berkata, “Itulah yang namanya taqwa.”
·         Pengertian ini disimpulkan oleh Ibnul Mu’taz melalui bait-bait syairnya, yaitu : “Lepaskanlah semua dosa, baik yang kecil maupun yang besar , itulah namanya taqwa. Berlakulah seperti orang yang berjalan di atas jalan yang beronak duri, selalu waspada menghindari duri-duri yang dilihatnya. Dan jangan sekali-kali meremehkan sesuatu yang kecil (dosa kecil), sesungguhnya bukit itu terdiri atas batu-batu kerikil yang kecil-kecil.”
5. Proses pembinaan selanjutnya dimulai dari orang-orang dekat, dimulai dari keluarga sampai teman-teman dekat.
  • Berdasarkan ayat Al Qur’an : “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. “(Q.S Asy Syu’ara’: 214)
  • Berdasarkan perkataan Mujahid : “dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah.”
  • Berdasarkan perkataan Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan : “Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya.”
6. Kesabaran memegang peranan penting.
  • Berdasarkan tafsir DEPAG yang menyebutkan ayat berikut : “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu mengerjakannya” (Q.S Taha: 132).
  • Pembinaan seperti ini adalah amal shalih, dan setiap amal shalih adalah perwujudan dari iman. Hal ini dapat kita simpulkan berdasarkan kesimpulan dari syaikh Al Utsaimin bahwa iman adalah : “Ikrar dengan hati, pengucapan dengan lisan, pengamalan dengan anggota badan.”  Dan hal yang tak bisa lepas dari keimanan adalah kesabaran (keimanan adalah kesabaran), hal ini sebagaimana tak bisa lepasnya haji dari wukuf (haji adalah wukuf di arafah).
Tafsir Al-Maraghi

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ

Wahai orang-orangyang percaya kepada Allah dan Rasul-Ny, hendaklah sevbagian dari kamumemberitkan kepada sebagian yang lain, apa yang dapat menjaga dirimu dari api neraka dan menjauhkan kamu daripadanya, yaitu ketaatan kepada Allah Ta’ala dan menuruti segala perintah-Nya.Dan hendaklah kamu mengajarkan kepada keluargamu perbuatan yang dengannya mereka dapat menjaga diri mereka dari api neraka. Dan bawalah mereka kepada yangdemikian ini melalui nasihat dan pengajaran.

Malaikat-malaikat itu diserahi neraka untuk mengurusnya dan menyiksa para penghuninya. Mereka ada sembilan belas orang malikat penjaga neraka.

Mereka keras dan kasar terhadap para penghun neraka itu.

Mereka tidak menyalahi perintah-Nya, tetapi mereka menjalankan apa yangdiperintahkan kepada mereka pada waktu itu juga tanpa selang. Mereka tidak mendahulu dan tdak menunda Perintah-Nya.
2.An-Nisa ayat 136
http://www.quran4theworld.com/quran/quran_search/image/4/136.gif

136. Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.
Pada ayat ini Allah SWT menyeru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, kepada Rasul Nya Muhammad saw. kepada Alquran yang diturunkan kepadanya, dan kepada Kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasul-rasul sebelumnya. Kemudian Allah SWT mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya. Barangsiapa mengingkari Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan hari akhirat, maka orang-orang itu benar-benar telah tersesat dan jalan yang benar, yaitu jalan yang akan menyelamatkan mereka dari azab yang pedih dan membawanya kepada kebahagiaan yang abadi.
Iman kepada Kitab-kitab Allah dan kepada Rasul-rasul-Nya, adalah satu rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Tidak boleh beriman kepada sebagian Rasul dan Kitab saja, tetapi mengingkari bagian yang lain seperti dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Iman serupa ini tidak dipandang benar, karena dipengaruhi oleh hawa nafsu atau hanya mengikuti pendapat-pendapat dan pemimpin-pemimpin saja.
Apabila ada orang yang mengingkari sebagian Kitab, atau sebagian Rasul, maka hal itu menunjukkan bahwa ia belum meresapi hakikat iman itu, karena itu imannya tidak dapat dikatakan iman yang benar, bahkan suatu kesesatan yang jauh dari bimbingan hidayah Tuhan.
Tafsir Al-Maraghi


Khitab ini diarahkan kepada orang-orang Mu’min dari kaum Yahudi. Diriwyatkan dari Ibnu Abbas, ayatin diturunkan berkenaan dengan Abdu ‘I-Lah bin Salam, Asad dan Usaid yang keduanya putra Ka’ab, Tsa’labah bin Qais, Salam bin saudara perempun Abdu ‘I-Lah bin Salam,dan Yaminbin Yamin. Mereka datang kepada Rasulullahsaw,seraya berkata,”Kami beriman kepadamu dan kitabmu, kepada Musa dan Taurat, dan kepada ‘Uzair; tetapi kamiingkar kepada selan kitab-kitab dan Rasul-rasul itu”. Maka, Rasulullahsaw, bersabda,”Bahkan,hendaknya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad, berserta kitabn-Nya, Al-Qur’an, danseluruh kitab yang diturunkan sebelum itu.” Mereka berkata,”Kami tidak akan melakukan”. Maka  turunkanlah ayat: “Qala fa’amanu kulluhum”
Dikatakan, bahwa khittab in diarahkan kepada kaum Mau’mnin secara keseluruhannya, dan maknanya adalah hendaklah kalan bertambah tenang dan yakn di dalam berman, dan berimanlah kalian kepada Rasul-Nya yang merupakan penutup para Nabi, kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepada para Rasulsebelumnya. Sebab, belum pernah Allah membiarkan para hamba-Nya dalam masa kapan pun dalam keadaan tidak menerima keteranagn dan petunjuk.
Setelah memerintahkan supaya beriman kepada apa-apa yang disebutkan di atas,kemudian Allah mengacam orang kafir kepada semua itu:


Barangsiapa kafir kepada Allah, para Malikat-Nya, sebagian kitab-Nya, sebagian Rasul-Nya, atau hari Akhir yangsemuanya merupakan asas dan rukun agama, sesunggunya dia telah sesat dari jalan haq yang menyelamatkannya d akhirat kelakdari adzab yang pedih, dan memberinya kenangan yang abadi.
Barangsiapa membeda-bedakan antara kitab-kitab dan Rasul-rasul Allah, seperti beriman kepada sebagian dan kafir kepada sebagian yang lai, sebagaimana dilakukan oleh orang-orangyahud, dan Nasran, maka keimannya tu tdak akan dipandang apa-apa. Sebab, dengan demikian da mengikuti hawa nafsunya, atau mengekor secara jahil dan buta. Sebabnya, rsalah (kerasulan) itu adalah hidayah, dan dalam hal ini sebagian Nabi tidak lebih sempurna daripada sebagian lannya. Sehingga, apabila dia kafir kepada sebagan kitab dan Rasuul, maka kekafrannya itu menunjukan bahwa dia sama sekali belum mengimaninya dengan keimanan yang benardan didasarkan atas pemahaman tentang hakikat dan hikmanya. Semua itu adalah kesesatan yang jauhdar jalan yang memperoleh hidayah.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar