A.
Pengertian Sistem Pers Otoriter
Pers dalam pengertian sempit dapat diartikan sebagai media
massa cetak seperti surat kabar, majalah tabloid, dan sebagainya. Dalam
pengertian luasnya pers berarti suatu lembaga atau media massa cetak maupun elektronik
(radio siaran, televisi, internet dll) sebagai media yg menyiarkan karya
jurnalistik. Pers dalam menjalankan fungsinya merupakan bagian dari subsistem
dari sistem pemerintahan yang melalukan fungsi kontrol sosial terhadap
pemerintah dalam membuat dan menetapkan suatu kebijakan.
Realitas menunjukkan pers memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi lingkungan yang probabilistik. Hal ini disebabkan karena pers
selalu bergulat dengan struktur masyarakat yang ada sehingga masyarakat dapat
dengan mudah menerima informasi yang disebarkan. Dari penyebaran informasi
inilah kemudian timbul berbagai opini masyarakat tentang suatu kondisi sosial.
Ini berarti secara tidak langsung pers memiliki andil besar dalam pembentukan
opini masyarakat.
Sistem Pers Otoritarian merupakan sistem pers dimana
kepemilikan pers dikuasai oleh pemegang kekuasaan maupun pemerintahan. Dalam
sistem pers otoritarian, hal-hal yang disampaikan tidak diperkenankan untuk
mengkritisi maupun mengomentari pemerintahan, pers dalam sistem ini berupa perwujudan
perpanjangan tangan pemerintah.
Pers dalam sistem ini dikekang dan diatur ketat oleh
pemerintah atau penguasa. Peran utama pers yaitu kontrol sosial hampir tidak
pernah dijalankan oleh pers. Pers lebih berperan sebagai penyambung lidah
pemerintahan.
Dalam teori ini, media massa berfungsi menunjang negara
(kerajaan) dan pemerintah dengan kekuasaan untuk memajukan rakyat sebagai
tujuan utama. Oleh karena itu pemerintah langsung menguasai dan mengawasi
kegiatan media massa. Akibatnya sistem media massa sepenuhnya berada di bawah
pengawasan pemerintah. Kebebasan pers sangat tergantung pada kekuasaan raja
yang mempunyai kekuasaan mutlak.
B.
Sejarah Pers Otoriter
Teori ini lahir pada abad ke-15 sampai ke-16 pada masa
bentuk pemerintahan bersifat otoriter (kerajaan absolut), hampir secara
otomatis dipakai di semua negara ketika masyarakat mulai mengenal surat kabar
sebagai wahana komunikasi.
Perkembangan otorisme pada pertengahan abad ke-15
menyebabkan timbul satu konsep otoriter di kehidupan pers di dunia, berawal di
Inggris, Perancis dan Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman, Jepang,
dan negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin pada abad ke-16. Dengan
prinsip dasar otorisme yang cukup sederhana bahwa pers hadir untuk mendukung negara
dan pemerintah. Mesin cetak yang ketika itu baru diciptakan tidak dapat
digunakan untuk mengecam dan menentang negara atau penguasa.
Pers bertungsi secara vertikal dari atas ke bawah dan
penguasa berhak menentukan apa yang akan diterbitkan atau disebarluaskan dengan
monopoli kebenaran di pihak penguasa. Konsep ini didukung oleh teori Hegel,
Plato dan Karl Marx yang pada inti ajarannya (meskipun cenderung pada konsep
sosialisme) mengagungkan negara sedemikian rupa dan berpendapat bahwa negara
memiliki hak dan kewajiban untuk membela dan melindungi dirinya sendiri dengan
segala cara yang dipandang perlu.
Kekuatan pers yang diakui sebagai kekuatan keempat (fourth
estate) menyebabkan negara atau penguasa mengalami phobia terhadap pers yang
selalu menjadi pihak yang pertama tahu dan biang untuk menyebarkan kelemahan
dan cela atau hal-hal yang merugikan negara atau penguasa.
Bagi penguasa otoriter keanekaragaman dapat menimbulkan
konflik dan ketidaksepakatan yang akibatnya sangat mengganggu dan bahkan sering
subversif. Konsensus dan keseragaman merupakan tujuan yang logis dan dapat
dipahami dalam komunikasi massa. Seperti pendapat yang dikemukakan Samuel
Johnson bahwa setiap masyarakat memiliki hak untuk mempertahankan ketertiban
dan perdamaian di depan umum, maka masyarakat berhak untuk melarang penyebaran
pendapat yang cenderung berbahaya.
Pendapat ini yang sebenarnya tidak masuk akal juga bagi
pemimpin atau penguasa negara berkembang yang miskin yang dihadapkan pada
kenyataan bahwa keharusan untuk melakukan integrasi politik dan pembangunan
ekonomi lebih diutamakan akhirnya tidak bisa membiarkan pendapatpendapat atau
pandangan yang dianggapnya dapat mengganggu dan menghasut.
Berkaitan dengan konsep integritas yang diharapkan
negara-negara yang sedang membangun dimana struktur masyarakatnya berada dalam
masa peralihan, media massa bisa dianggap sebagai salah satu biang terganggunya
perkembangan masyarakat dan ketertiban. Hal inilah belakangan menjadi bahan
yang menarik perhatian mahasiswa atau sarjana komunikasi massa, dimana terdapat
dugaan bahwa media massa dilihat berkaitan dengan masalah urbanisasi yang
berlangsung cepat, mobilitas sosial, dan kerapuhan komunitas tradisional, yang
secara khusus dihubungkan dengan dislokasi sosial, dugaan meningkatnya kebobrokan
moral, kriminalitas dan kekacauan.
Munculnya film dari luar dan ketakutan bahwa komikkomik
impor berpotensi untuk merusak dan menghambat perkembangan berpikir anak
menjadikan pemerintah merasa memiliki hak untuk mengawasi media massa.
Komunikasi massa seringkali dikatakan individualistis, impersonal, dan anomis,
oleh karena itu komunikasi massa sangat menunjang punahnya kontrol sosial dan
solidaritas. Dari sinilah pemerintah atau kelas penguasa mengambil tindakan
dengan melakukan kontrol pada media massa/pers. Secara sah atau tidak sah teori
ini membenarkan penguasaan media oleh pihak yang berkuasa dalam masyarakat.
C.
Fungsi dan ciri-ciri Pers Otoriter
Kekuasaan yang ada pada tangan pemerinah, pada mulanya ada
di tangan gereja.Mereka menganggap dirinya mendapat wahyu dari Yesus Kristus
untuk membimbing masyarakat agar tidak menyimpang.Akhirnya pemikiran-pemikiran
yang dibenarkan gereja menjadi keharusan.Tokoh-tokoh ini adalah Plato,
Machiavelli, Hobbes, Hegel, serta Trotsky.
Prinsip utama:
·
Media seyogyanya tidak melakukan
hal-hal yang dapat merusak wewenang yang ada.
·
Media selamanya (akhirnya) harus
tunduk pada penguasa yang ada.
·
Media seyogyanya menghindari
perbuatan yang menentang nilai-nilai moral dan politik atau dominan mayoritas.
·
Penyensoran dapat dibenarkan untuk
menerapkan prinsip-prinsip ini.
·
Kecaman yang tidak dapat diterima
terhadap penguasa, penyimpangan dari kebijaksanaan resmi, atau perbuatan yang
menentang kode moral dipandang sebagai perbuatan pidana.
·
Wartawan atau ahli media lainnya
tidak memiliki kebebasan di dalam organisasi medianya.
Para Tokoh Pemikir
a.
Plato
Bentuk pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan
aristokrat atau kebangsawanan.Sifat dasar manusia termasuk keinginan-keinginan
materialnya dan perasaan mementingkan diri sendiri cenderung merendahkan
derajat pemerintahan. Plato beranggapan bahwa negara akan selamat hanya apabila
dipegang oleh orang-orang bijak, misalnya pada magistrat yang memerintah yang
memerintah denga otoritas moral dan menggunakan otoritas tersebut untuk menjaga
agar elemen masyarakat yang paling dasar tetap pada garisnya. Plato yakin bahwa
masyarakat yang ideal adalah masyarakat di mana negara membentuk dan memaksakan
tujuan-tujuan politik dan budayanya.Pandangan demikian berarti bahwa ada
pengendalian ketat terhadap terjadinya opini dan diskusi dalam masyarakat.
b. Machiavelli
Machiavelli tidak mempersoalkan tujuan dan arah negara. Yang
dipermasalahkan adalah cara untuk mendapatkan dan agar tetap memegang kekuasaan
politik. Keamanan negara harus dapat dicapai dengan kebijakan penguasa yang
realistis dan nonmoralis.Dibawah doktrin seperti itu diskusi dalam masyarakat
harus dibatasi apabila penguasa menganggap bahwa diskusi itu mengancam
kedudukannya.
c. Thomas Hobbes
Berdasarkan dua keinginan dasar manusia, yaitu bebas dari
penderitaan dan ingin berkuasa, Hobbes mengembangkan suatu sistem filsafat
politik yang lengkap dimana kekuasaan mengawasi kegiatan tiap orang demi
kepentingan banyak orang ialah yang terpenting.Kekuasaan untuk menjaga
ketertiban dan kedamaian merupakan hal yang utama.
d. George Hegel
d. George Hegel
Ahli filsafat dari Jerman ini dijuluki sebagai pencetus
cikal bakal komunisme dan fasisme. Kebebasan perseorangan menurut Hegel untuk
mengetahui bahwa orang tersebut tidak bebas, tetapi tindakannya ditentukan oleh
sejarah, masyarakat, terutama ide absolut yang terwujud dalam negara.Kaum Tudor
di Inggris pada abad 16 memberikan hak-hak paten yang sifatnya eksklusif kepada
orang-orang pilihan yang memonopoli bidang penerbitan dan mengeruk keuntungan
sepanjang mereka tidak berusaha menggoncangkan pemerintahan
Jurnal-jurnal resmi yang mewakili pemerintah diterbitkan di
semua negara Barat.Jurnal-jurnal ini diberi tugas untuk memberikan gambaran
yang tepat dan cermat tentang kegiatan pemerintah agar disiarkan kepada
masyarakat. Juga membuat tindakan balasan untuk menghapus kesan yang salah
akibat tulisan yang karena suatu dan lain hal tidak terjangkau oleh pengawasan
pemerintah.
Dikeluarkan sistem lisensi atau perizinan untuk karya
perseorangan, terutama dalam masalah agama dan politik.Mereka harus menyerahkan
hasil karya kepada wakil pemerintah yang dianggap tahu mengenai tujuan
pemerintah.
Cara lain dalam mengawasi pers ialah pendakwaan melalui
pengadilan atas pelanggaran peraturan yang telah diterima oleh umum. Dalam
semua tindakan hukum tuduhan pengkhianatan merupakan tindakan kriminal terhadap
masyarakat.
Ada tiga kategori tindakan yang dapat digolongkan sebagai
pengkhianatan, yaitu (1) usaha menggulingkan negara, (2) terlibat dalam
kegiatan yang dapat mengarah pada penggulingan negara, dan (3) mendukung dan
menganjurkan kebijaksanaan yang dapat mengarahkan pada penggulingan negara.
Hukuman bagi pengkhianatan biasanya ialah hukuman mati sebagai senjata ampuh
untuk membungkam pendapat yang menyerang pemerintah.
Yang diijinkan ialah semua hal yang mendukung dan
mengembangkan tujuan dan kebijakan negara.Sebaliknya, hal yang bersifat
mengkritik para pemimpin politik beserta proyek-proyeknya dilarang.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan mengenai
ciri-ciri Pers Otoriter :
a)
Media tidak dapat melakukan hal-hal
yang dapt merusak wewenang yang ada
b)
Media harus selamanya tunduk pada
penguasa
c)
Media menghindari perbuatan yang
menentang nilai moral dan politik
d)
Penyensoran dapat di benarkan untuk
menerapkan prinsip-prinsip yang di anut
e) Kecaman yang tidak dapat diterima terhadap penguasa
penyimpangan dari kebijaksanaan
f)
resmi atau perbuatan yang menentang
kode moral, di pandang sebagai perbuatan pidana
g)
Wartawan tidak memiliki kebebasan
dalam organisasinya.
D.
Kelebihan dan Kelemahan Sistem Pers
Otoriter
Setiap konsep yang memiliki relativisme yang tinggi karena
tergantung oleh nilai, norma bahkan kebutuhan masyarakatnya, setiap hal di
dunia ini pada kodratnya memiliki dua sisi, baik dan buruk, benar dan salah.
Maka konsep otoritarian ini pun memiliki kelebihan yang menyebabkan suatu
konsep itu tetap digunakan dan menimbulkan efek yang diinginkan masyarakat juga
memiliki kekurangan.
v
Kelebihan teori otoriter:
Konflik dalam masyarakat cenderung berkurang karena adanya
pengawasan hal-hal yang dianggap dapat menggoncangkan masyarakat.Mudah
membentuk penyeragaman/integritas dan konsensus yang diharapkan khususnya secara
umum pada negara sedang membangun yang memerlukan kestabilan. Meskipun
telah disadari konsep ini cenderung menekan hak-hak individu atau masyarakat
khususnya untuk bebas mengungkapkan, menyebarkan, dan mendapatkan informasi
dari kebenaran fakta namun disadari juga bahwa dalam masyarakat prademokrasi
atau masyarakat yang berciri kediktatoran adanya kecendrungan otoriter dalam
hubungannya dengan media yang umumnya tidak bersifat totaliter tidak bisa
diabaikan. ltulah mengapa konsep itu tanpa disadari tetap bertahan dan berlaku
dengan kenyataan bahwa pada situasi tertentu konsep otoriterisme mengungkapkan
itikad yang populer dan dalam semua masyarakat terdapat berbagai situasi di
mana kebebasan pers bisa jadi bertentangan dengan kepentingan negara atau masyarakat
misalnya dalam suasana kekacauan yang ditimbulkan teroris dan ancaman perang.
Maka banyak negara melakukan pengendalian yang besar terhadap teater, film,
penyiaran dan radio yang bila dibandingkan persentasenya lebih besar dari pada
terhadap surat kabar dan buku.
v
Kekurangan :
a)
Adanya penekanan terhadap keinginan
untuk bebas mengemukakan pendangan atau pendapat
b)
Mudah terjadi pembredelan penerbitan
media yang cenderung menghancurkan suasana kerja dan lapangan penghasilan yang
telah mapan.
c)
Tertutupnya kesempatan untuk
berkreasi.
E. Kemunculan dan keruntuhan pers
otoriter di Indonesia
Seperti halnya Indonesia pada masa orde baru ketika pers
berpraktek konsep otoriter ini meskipun secara teori konsep yang dipakai adalah
konsep pers Pancasila dengan inti ajaran memiliki
kesamaan dengan konsep pers tanggung jawab sosial.Dengan maksud perkembangan
atau pembangunan yang sedang berjalan tidak terganggu dengan hal-hal yang
mungkin mengancam integritas maka pemerintah ketika itu merasa memiliki hak
untuk mengawasi pers yang telah atau dianggap telah melanggar tanggung jawabnya
pada masyarakat, keadaan ini merupakan konsep otoritarian tradisional.Pada masa
itu pers Indonesia diperbolehkan untuk mencari berita, menyebarkannya, namun dengan
kebijakan untuk negara.
Pemerintah membiarkan pers selama pers tidak mengkritik dan
menentang kebijakan pemerintah atau hal-hal yang tidak menguntungkan
pemerintah.Sayangnya pers memakai kesempatan ini untuk mementingkan nilai-nilai
komersil dengan mengabaikan nilai ideal pers, sehingga konsep otoritarian bukan
lagi menjadi kepentingan pemerintahan. Meskipun demikian kenyataan bahwa pers
memiliki cukup nyali untuk menyebarkan informasi kebenaran yang kemudian
dianggap menyinggung pemerintah, sehingga sekitar tahun 90-an dan awal 90-an
beberapa penerbitan pers dicabut SIUPP-nya.
Kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat benturan
kepentingan yang secara umum media massa ketika itu merupakan salah satu bagian
atau sub sistem sosial politik yang berlaku. Permasalahan yang terjadi pada
media massa merupakan produk atau hasil dari permasalahan sistem sosial politik
yang ada. Menurut McQuail, bahwa media massa, sebagai suatu bagian dari sistem
kenegaraan, maka kepentingan nasional bangsa yang dirumuskan oleh kalangan
pembuat kebijakan akan menentukan mekanisme operasionalis media massa dalam
menjalankan fungsi dan tujuannya. Pihak pemerintah menginginkan agar media
massa berfungsi sebagai sarana pemeliharaan integritas bangsa dan negara,
sarana pemeliharaan kestabilan politik.
Sementara itu khalayak mengharapkan media massa berfungsi
sebagai sumber informasi yang dipercaya, sarana pengetahuan dan budaya. Di masa
itu pers berada dalam kondisi yang tidak berdaya dari tekanantekanan
kepentingan pihak penguasa dan pengusaha media. Tekanan-tekenan ini dengan
alasan demi stabilitas nasional dan kepentingan pembangunan ekonomi telah
membuat media massa cenderung untuk hanya berorientasi pada kepentingan
pemerintah dan pemilik modal dan mengabaikan kepentingan khalayak secara luas.
Fungsi kontrol media massa khususnya untuk menyampaikan berbagai kritikan serta
pandangan yang berbeda mengenai relaitas pembangunan cenderung menurun atau
bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini disebabkan dua hal yaitu pertama bahwa
ketidak berdayaan para pengelola media massa menghadapi tekanan politik
ekstemal dalam mendefinisikan dan menggambarkan 'realitas sosial'. Tekanan
eksternal ini tentu saja tidah hanya mempengaruhi 'obyektifitas
antar-media'.Kedua bahwa secara struktural politik media yang berlaku di masa
orde baru diasumsikan telah semakin meperkokoh integrasi vertikal dalam sistem
komunikasi politik kita.
Tercermin dengan dimilikinya berbagai media massa oleh
unsur-unsur bagian elit politik yang diperkirakan memiliki keseragaman konsepsi
mengenai relaitas sosial.
Ø
Sejarah Pers Otoriter di Indonesia
Pers model ini di Indonesia mulai terlihat geliatnya saat
presiden soekarno mengeluarkan dekrit presiden. Sistem pemerintahannya terkenal
dengan nama Demokrasi Terpimpin berlangsung dari tahun 1957-1965.
Pada masa ini, pers cenderung bersifat Komunis, karena
berita-berita yang dikeluarkan kantor berita tersebut cenderung pro-PKI. Tetapi
pada akhir masanya diterbitkan surat kabar – surat kabar lain guna mengimbangi
pers PKI. Dilanjutkan dengan masa transisi kedua (1965-1974) yang ditandai
dengan awal pemerintahan orde baru.Pada awalnya, kehidupan pers di Indonesia
bersifat Liberal dan pers-pers yang bersifat komunis dihilangkan.Pers bisa
mengkritik jalannya pemerintahan, pemerintahan Orde Baru melakukan pembatasan
kepada pers, dan meberlakukan pencabutan izin bagi pers yang dianggap
mengganggu jalannya pemerintahan.
Kemudian pada tahun 1974-1999, pers cenderung tertutup dan
bersifat pragmatis.Pers kehilangan idealisme dan daya kritisnya terhadap
kehidupan sehari-hari.Pers sangat berhati-hati dalam menyikapi wacana
keterbukaan politik agar tidak berdampak buruk terhadap kelangsungan hidupnya.
kebanyakan negara yang menganut sistem pers otoritarian
adalah negara dengan sistem pemerintahan kerajaan atau monarki. Seperti di
malaysia, Pers di sana lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Pers
Malaysia tidak pernah memberitakan hal-hal yang negatif tentang suasana
negerinya sendiri.Berbeda dengan pers di Indonesia yang sangat gencar
memberitakan hal-hal apapun meski berbau negatif bagi penguasa.
Orde Baru bangkit sebagai puncak
kemenangan atau rezim Demokrasi Terpimpin yang pada hakikatnya telah dimulai
sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila, termasuk pers, mengadakan
perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI melalui jalur Manipolisasi dan
Nasokomisasi. Kehancuran G30S/PKI merupakan awal ’pembenahan’ kehidupan
nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara sistematis dan terarah.
Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah UU no 11 tahun
1966. pengembangan pers nasional lebih lanju diwujudkan dengan mengundangkan UU
no 21 tahun 1982 sebagai penyempurnaan UU no 11/1966. Penciptaan lembaga Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan
kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan pers yang
bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori
pers otoriter.
Terlepas dari kritik terhadap konsep
penerbitan untuk mengatasi represi politik, pada tahun 1980-an banyak surat
kabar yang menyesuaikan kebijakannya pada sistem politik yang berlaku (Hermawan
Sulistyo, dalam Maswadi Rauf 1993). Surat kabar bukan hanya dipahami sebagai
saluran kegiatan politik, namun juga sebagai saluran kegiatan ekonomi, budaya,
soial, dan sebagainya. Ukuran ekonomi tampak dari penerbitan pers yang melihat
hal ini sebagai lapangan bisnis. Karena alihan konsep ini, banyak kalangan pers
yang kemudian menghindari ’wilayah rawan’ dengan membuka segmen pembaca baru.
Fenomena yang paling mencolok ialah menjamurnya jumlah media yang berebut
pangsa pasar di kalangan pembaca wanita. Kelompok Femina, misalnya, juga
mengelola Ayahbunda, Gadis, dan Sarinah Group. Kelompok Gramedia juga terlihat
menghindari ’daerah rawan’ dengan mengelola Nova, Hai, Intisari, Tiara, Bola,
Bobo, dan sebagainya.
Kemudian pada tahun 1998, lahirlah
gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru. Keberhasilan gerakan ini,
melahirkan peraturan perundangan-peraturan perundangan sebagai pengganti
peraturan perundangan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. UU no 40
tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak sistem politik Indonesia
mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori
pers tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada
masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no
21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem
pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu
terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999.
UU Pokok Pers No.40/1999 sebenarnya
telah memberi landasan yang kuat bagi perwujudan kemerdekaan pers di Indonesia.
Namun dalam praktiknya hingga kini kemerdekaan pers belum berlangsung secara
substansial karena masih lemahnya penghargaan insan pers terhadap profesinya. Banyak sekali
terjadi pelanggaran etika dan profesionalisme jurnalistik yang justru
kontraproduktif bagi esensi kemerdekaan pers. Maraknya aksi-aksi massa terhadap
kantor penerbitan di samping menunjukkan rendahnya apresiasi masyarakat
terhadap kebebasan pers, juga diakibatkan oleh masih rendahnya penghargaan
insan pers terhadap kebebasannya. Dalam menghadapi pers yang nakal, kita tidak
bisa begitu saja berpendapat bahwa ketidakpuasan terhadap pers dapat dilakukan
melalui protes, klarifikasi maupun koreksi terhadap penerbitan pers karena
masyarakat dapat menggunakan haknya untuk menggugat ke pengadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar