Sabtu, 28 April 2012

Tafsir Surat.


Tafsir Surat Ali Imran 110..!
Tafsir Ibnu Katsir
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali 'Imran : 110)
Imam Bukhari berkata: dari Muhammd Bin Yusuf, darri Sufyan Ibn Maysarah, dari Abi Haazim dari Abi Hurairah Ra, (kuntum khairo ummah ukhrijat linnas) berkata: “sebaik-baik manusia untuk manusia yang lain yaitu datang kepada mereka dengan terbelenggu leher-leher mereka sampai mereka masuk ke dalam Islam, dan seperti ini yang dikatakan oleh Abu Hurairah, Mujahid dan ‘Ithiyah al-‘Ufi, Ikrimah, Ata dan Ar-Rabi’ Ibnu Anas (kuntum khairo ummah ukhrijat linnas) kalian adalah umat yang terbaik yang dihantar untuk manusia
Yakni umat yang terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia. Dengan kata lain, mereka adalah sebaik-baik umat dan manusia paling bermanfaat umat manusia. Firman Allah SWt selanjutnya : menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syarik dari Sammak dari Abdullah ibnu Umairah dari Durrah binti Abu Lahab menceritakan : Seorang lali-laki berdiri menunjukkan dirinya kepada Nabi SAW yang saat itu berada diatas mimbar. Lalu lelaki itu bertanya, “Wahai Rasulullah siapakah manusia yang terbaik?”. Nabi SAW menjawab : “Manusia yang terbaik adalah yang paling pandai membaca Al Qur’an dan paling bertaqwa diantara mereka kepada Allah dan paling gencar melakukan amal ma’ruf nahi munkar terhadap mereka dan paling gemar diantara mereka bersilaturrahmi.
Imam Ahmad dalam kitab musnadnya, Imam Nasai’ dalam kitab sunannya dan Imam Hakim dalam kitab Mustadraknya telah meriwayatkan dari hadits Sammak dari Sa’id Ibnu Jubair dari Ibnu Abbas sehubungan
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (QS. Ali 'Imran : 110)
Bahwa mereka adalah orang yang berhijrah bersama Rasulullah dari Mekkah ke Madinah.
Pendapat yang benar mengatakan bahwa ayat ini mengandung makna umum mencakup semua umat ini dalam setiap generasinya, dan sebaik-baik generasi adalah orang-orang yang Rasulullah diutus dikalangan mereka, kemudian orang sesudah mereka, kemudian orang sesudah mereka.
Makna ayat ini sama dengan makna ayat lain
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (QS. Al Baqarah : 143)
Yang dimaksud dengan wasatan ialah yang terpilih.
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia (QS. Al Baqarah : 143) hingga akhir ayat
Didalam kitab musnad Imam Ahmad, Kitab Jami’ imam Turmidzi, kitab Sunan Ibnu Majah dan kitab Mustadrak Imam Hakim disebutkan melalui riwayat Hakim Ibnu Mu’awiyah ibnu Haidah dari ayahnya telah menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Kalian adalah umat yang ke tujuh puluh, kalian yang paling baik dan paling mulia menurut Allah SWT”
Hadits ini cukup terkenal (mahsyur), Imam Turmidzi menilainya berpredikat Hasan.

Tafsir Qurthubi
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali 'Imran : 110)
Firman Allah SWT di atas merupakan pernyataan dari Allah SWT bahwa umat Sayyidina Muhammad SAW, yakni kaum muslimin, sebagai umat yang terbaik di antara umat manusia di muka bumi. Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya mengutip sebuah hadits dari Bahz bin Hakim bahwa tatkala membaca ayat ini Rasulullah SAW Bersabda : “Kalian adalah penyempurna dari 70 umat, kalian yang terbaik di antara mereka dan termulia di sisi Allah” (HR. At Tirmidzi).
Predikat tersebut sama dengan predikat “ummatan wasathan” yang Allah sebut dalam firman-Nya:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah : 143)
Menurut Ibnu Abbas r.a, sebagaimana dikutip Imam Al Qurthubi, kelompok orang yang berpredikat umat terbaik yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang berhijrah dari Mekkah ke Madinah, yang ikut dalam perang Badar, dan ikut dalam perjanjian Hudaibiyah. Namun Umar bin Khaththab mengatakan bahwa siapa saja yang beramal seperti mereka, levelnya seperti mereka.
Tentang tak perlu dipertentangkannya apakah yang terbaik di antara umat Islam ini, yang awal ataukah yang akhir, Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya mengutip sebuah riwayat hadits bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Umatku bagaikan hujan, tak diketahui, yang lebih baik itu yang pertama ataukah yang terakhir” (HR. Abu Dawud At Thayalisi dan Abu Isa At Tirmidzi).
Keunggulan kaum muslimin yang menjadi umat terbaik ini di antara umat manusia disebut oleh Abu Hurairah r.a. dalam ucapannya : “Kami adalah yang terbaik di antara manusia, kami mengarahkan mereka untuk menapaki jalan mendaki menuju kepada Islam”.
Dan dengan cepatnya umat terbaik yang senantiasa membimbing umat manusia ke jalan Islam, mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, membuka berbagai wilayah bagi tegaknya kedaulatan Islam, serta mendapati umat manusia dari berbagai bangsa, bahasa, negara, dan adat istiadat menerima Islam sebagai keyakinan dan tataaturan hukum buat kehidupan mereka.
Mereka mengarahkan pikiran umat manusia dengan cara yang argumentatif logis sebagaimana diajarkan oleh Allah SWT agar senantiasa mengajak manusia berpikir dengan bukti-bukti yang nyata, yakni dakwah bil hikmah sebagai mana firman Allah SWT
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An Nahl : 125).
Apabila ada halangan fisik terhadap dakwah, mereka dengan gagah berani menyingkirkan halangan fisik itu dengan jihad fi sabilillah. Dan karena mereka adalah manusia unggulan, dalam perang pemikiran maupun perang fisik pun mereka senantiasa unggul. Allah SWT menjamin kualitas unggulan mereka dalam firman-Nya :
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti” (QS. Al Anfaal : 65).
Jelaslah bahwa kualitas umat terbaik itu dibandingkan dengan orang-orang kafir, atau umat-umat lain, adalah 1 orang muslim bisa mengalahkan 10 orang kafir. Itu dalam kondisi prima, dalam kondisi kaum muslimin ada kelemahan, Allah SWT masih memberikan garansi bahwa kaum muslimin akan sanggup mengalahkan kekuatan orang kafir yang jumlahnya dua kali lipat kekuatan mereka sebagai mana firman Allah SWT :

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al Anfaal : 66).
keunggulan umat Islam itu dengan syarat memenuhi sifat-sifat yang disebut dalam ayat itu. Ada tiga sifat yang dimiliki oleh umat pengemban risalah Muhammad saw ini yang menyertai predikat anugerah Allah SWT sebagai umat yang terbaik, yakni: (1). Menyuruh kepada yang ma’ruf, (2). Mencegah dari yang munkar, (3). Beriman kepada Allah SWT, sebagaimana terdapat dalam lafazh:
“Kalian menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.
Itulah tiga sifat yang menjadi unsur-unsur kebaikan umat Muhammad saw. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa iman kepada Allah SWT tentu harus ada terlebih dahulu sebelum dua hal yang lain., yakni amar ma’ruf dan nahi munkar. Demikian pula, umat yang terbaik itu mesti iman kepada risalah Islam. Sebab aktivitas amar ma’ruf nahi munkar tidak ditentukan oleh tradisi masyarakat, melainkan oleh syariat yang diturunkan Allah SWT.

Tafsir Jalalain

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali 'Imran : 110)
 (Adalah kamu) hai umat Muhammad dalam ilmu Allah swt. (sebaik-baik umat yang dikeluarkan) yang ditampilkan (buat manusia, menyuruh kepada yang makruf dan melarang dari yang mungkar serta beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, adalah ia) yakni keimanan itu (lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman) misalnya Abdullah bin Salam r.a. dan sahabat-sahabatnya (tetapi kebanyakan mereka orang-orang yang fasik) kafir.

Tafsir Depag
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali 'Imran : 110)
Ayat ini mengandung suatu dorongan kepada kaum mukminin supaya tetap memelihara sifat-sifat utama itu dan supaya mereka tetap mempunyai semangat yang tinggi.
Umat yang paling baik di dunia adalah umat yang mempunyai dua macam sifat, yaitu mengajak kebaikan serta mencegah kemungkaran, dan senantiasa beriman kepada Allah. Semua sifat itu telah dimiliki oleh kaum muslimin di masa nabi dan telah menjadi darah daging dalam diri mereka karena itu mereka menjadi kuat dan jaya. Dalam waktu yang singkat mereka telah dapat menjadikan seluruh tanah Arab tunduk dan patuh di bawah naungan Islam, hidup aman dan tenteram di bawah panji-panji keadilan, padahal mereka sebelumnya adalah umat yang berpecah belah selalu berada dalam suasana kacau dan saling berperang antara sesama mereka. Ini adalah berkat keteguhan iman. dan kepatuhan mereka menjalankan ajaran agama dan berkat ketabahan dan keuletan mereka menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran. Iman yang mendalam di hati mereka selalu mendorong untuk berjihad dan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimana tersebut dalam firman Allah:
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul Nya. kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar". (QS Al Hujurat : 15)
Jadi ada dua syarat untuk menjadi sebaik-baik umat di dunia, sebagaimana diterangkan dalam ayat ini, pertama iman yang kuat dan; kedua menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran. Maka setiap umat yang memiliki kedua sifat ini pasti umat itu jaya dan mulia dan apabila kedua hal itu diabaikan dan tidak diperdulikan lagi, maka tidak dapat disesalkan bila umat itu jatuh ke lembah kemelaratan.
Maulana Ilyas rah.a
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali 'Imran : 110)
Wahai manusia, engkau adalah seperti halnya para Nabi yang dijadikan asbab untuk membenarkan para Nabi. Oleh karena itu, jadikanlah taklimnya dan akhlaknya menjadi suri teladan.
Maksud lafazh “ukhrijat” adalah memberi isyarat pada suatu tempat untuk benar-benar membuat usaha. Sekalipun kita tidak bekerja, tetapi sekurang-kurangnya perlu untuk memberangkatkan jamaah khuruj. Tugas kita adalah amar ma’ruf nahi munkar.
Dengan amar ma’ruf nahi munkar, keimanan kalian akan bertambah. Jika kalian tidak melakukannya, maka iman tidak akan meningkat. Oleh karena itu kita harus berniat untuk mengambil manfaat darinya.
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?" (QS. Ash Shaff : 14)
Rasulullah SAW mengajak orang yang beriman (ahlul iman) untukmenolong agama dengan perantaraan wahyu Allah dan berkata, “Jihad tidak harus selalu menggunakan pedang, tetapi berusaha menyampaikan agama kepada setiap manusia dan mengajak untuk menolong agama juga termasuk jihad. Kita mengajak kepada umat yang benar-benar ahlul imanuntuk menyambut ajakan Allah ini. Oleh karena itu, setiap orang beriman hendaknya meluangkan waktu untuk mendakwahkan agama kesetiap rumah dengan membentuk rombongan khuruj fi sabilillah. Menelusuri lorong demi lorong, rumah demi rumah, kota demi kota dengan bersabar menghadapi kesulitan dan mengajak manusia dengan baik untuk memperjuangkan agama.
Maulana Muhammad Zakariyya rah.a
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali 'Imran : 110)
Banyak hadits Rasulullah yang menerangkan bahwa ummat Islam adalah ummat yang termulia di antara ummat lainnya. Dan banyak pula ayat Al Qur’an yang menyatakan demikian, baik dengan jelas maupun dengan isyarat. Dalam ayat di atas, Allah SWT telah memuliakan kita sebagai ummat yang terbaik. Dan Allah SWT pun telah menyebutkan syaratnya yaitu selama kita berdakwah mengajak ummat ini kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran. Para ahli tafsir mengatakan bahwa dalam ayat ini, kalimat amar ma’ruf nahi munkar disebutkan lebih dulu daripada iman kepada Allah. Padahal, iman adalah pangkal segala amalan. Tanpa iman, kebaikan apapun tidak akan bernilai sedikitpun di sisi Allah. Hal ini terjadi karena iman juga dimiliki oleh ummat terdahulu. Tetapi ada suatu amalan khusus yang menjadikan ummat Muhammad saw lebih unggul dibandingkan dengan ummat-ummat sebelumnya, yaitu tugas amar ma’ruf nahi munkar. Inilah penyebab utama, ummat Muhammad saw lebih istimewa daripada ummat lainnya. Meskipun demikian, iman tetap ditekankan dalam ayat ini, karena amal apapun tidak akan bernilai tanpa iman.

Dan maksud utama ayat tersebut adalah menyebutkan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar bagi ummat ini. Oleh karena itu, ia disebutkan terlebih dahulu daripada iman. Maksud adanya amar ma’ruf nahi munkar sebagai sesuatu yang menjadikan ummat ini lebih unggul adalah, hendaknya ummat ini memperhatikannya secara khusus. Sehingga bertabligh secara sambil lalu, tidaklah memenuhi syarat. Sebab, tabligh sebagai tugas tambahan pun sudah ada pada ummat-ummat sebelumnya, sebagaimana firman Allah SWT, “ Ketika mereka lalai dari mengingatkan.” Peringatan seperti ini banyak disebutkan dalam ayat-ayat lainnya. Jadi, kelebihan ummat ini terletak pada perhatian khusus dalam dakwah. Oleh sebab itu, hendaknya dakwah dilaksanakan sebagai pekerjaan yang pokok sebagaimana kerja-kerja agama atau dunia lainnya.

Kajian Tafsir Surat An Nahl Ayat 125

Kajian Tafsir Surat An Nahl Ayat 125
1. Teks Surat An Nahl Ayat 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَArtinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang  baik.  Sesungguhnya Tuhanmu Dialah  yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”[1]

2.  Asbab  An-Nuzul Surat An Nahl ayat 125

            Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah SAW. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah.[2] Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya  ayat tersebut.[3]
            Meskipun demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran dakwah siapa saja, Muslim ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus sesuai dengan sabab an- nuzul-nya (andaikata ada sabab an-nuzul-nya). Sebab, ungkapan yang ada memberikan pengertian umum.[4] Ini berdasarkan kaidah ushul: 
أَنَّ الْعِبْرَةَ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ 
Artinya:
“Yang menjadi patokan adalah keumuman ungkapan, bukan kekhususan sebab”[5]
Setelah kata ud‘u (serulah) tidak disebutkan siapa obyek (maf‘ûl bih)-nya. Ini adalah uslub (gaya pengungkapan) bahasa Arab yang memberikan pengertian umum (li at-ta’mîm).[6]
Dari segi siapa yang berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Meski ayat ini adalah perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam. Sebagaimana kaidah dalam ushul fikih :
خطاب الرسول خظاب لامته مالم يرد دليل التحصيص
Artinya:
Perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. [7]
3. Beberapa Pendapat Ahli Tafsir
a.      Tafsir Al-Jalaalayn
{ ادع } الناس يا محمد صلى الله عليه وسلم { إلى سَبِيلِ رَبّكَ } دينه { بالحكمة } بالقرآن { والموعظة الحسنة } مواعظة أو القول الرقيق { وجادلهم بالتى } أي المجادلة التي { هِىَ أَحْسَنُ }  كالدعاء إلى الله بآياته والدعاء إلى حججه { إِنَّ رَّبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ } أي عالم { بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بالمهتدين } فيجازيهم ،
وهذا قبل الأمر بالقتال . ونزل لما قتل حمزة
Artinya:
“Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat atau perkataan yang halus)  dan debatlah mereka dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujah).  Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Mahatahu, yakni Mahatahu tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia Mahatahu atas orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Maka Allah membalas mereka. Hal ini terjadi sebelum ada perintah berperang. Ketika Hamzah  dibunuh (dicincang dan meninggal dunia pada Perang Uhud)” [8]
b.      Tafsir al-Qurthuby
هذه الآية نزلت بمكة في وقت الامر بمهادنة قريش، وأمره أن يدعو إلى دين الله وشرعه بتلطف ولين دون مخاشنة وتعنيف، وهكذا ينبغى أن يوعظ المسلمون إلى يوم القيامة. فهى محكمة في جهة العصاة من الموحدين، ومنسوخة بالقتال في حق الكافرين. وقد قيل: إن من أمكنت معه هذه الاحوال من الكفار ورجى إيمانه بها دون قتال فهى فيه محكمة. والله أعلم.
Artinya:
“(Ayat ini diturunkan di Makkah saat Nabi SAW. diperintahkan untuk bersikap damai kepada kaum Quraisy.  Beliau diperintahkan untuk menyeru pada agama Allah dengan lembut (talathuf), layyin, tidak bersikap kasar (mukhasanah), dan tidak menggunakan kekerasan (ta’nif). Demikian pula kaum Muslim; hingga Hari Kiamat dinasihatkan dengan hal tersebut. Ayat ini bersifat muhkam dalam kaitannya dengan orang-orang durhaka dan telah di-mansûkh oleh ayat perang berkaitan dengan kaum kafir.  Ada pula yang mengatakan bahwa bila terhadap orang kafir dapat dilakukan cara tersebut, serta terdapat harapan mereka untuk beriman tanpa peperangan, maka ayat tersebut dalam keadaan demikian bersifat muhkamWallâhu a’lam.)” [9]

c.      Tafsir At-Thabary
 ( ادْعُ ) يا محمد من أرسلك إليه ربك بالدعاء إلى طاعته( إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ ) يقول: إلى شريعة ربك التي شرعها لخلقه، وهو الإسلام( بِالْحِكْمَةِ ) يقول بوحي الله الذي يوحيه إليك وكتابه الذي ينزله عليك( وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ) يقول: وبالعبرة الجميلة التي جعلها الله حجة عليهم في كتابه ، وذكّرهم بها في تنزيله، كالتي عدّد عليهم في هذه السورة من حججه ، وذكّرهم فيها ما ذكرهم من آلائه( وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ) يقول: وخاصمهم بالخصومة التي هي أحسن من غيرها أن تصفح عما نالوا به عرضك من الأذى، ولا تعصه في القيام بالواجب عليك من تبليغهم رسالة ربك.
Artinya:
“Serulah (Wahai Muhammad, orang yang engkau diutus Rabb-mu kepada nya dengan seruan untuk taat ke jalan Rabb-mu, yakni ke jalan Tuhanmu yang telah Dia syariatkan bagi makhluk-Nya yakni Islam, dengan hikmah (yakni dengan wahyu Allah yang telah diwahyukan kepadamu dan kitab-Nya yang telah Dia turunkan kepadamu) dan dengan nasihat yang baik (al-mau’izhah al-hasanah, yakni dengan peringatan/pelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujah atas mereka di dalam kitab-Nya dan Allah telah mengingatkan mereka dengan hujah tersebut tentang apa yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang banyak tersebar dalam surat ini, dan Allah mengingatkan mereka (dalam ayat dan surat tersebut) tentang berbagai kenikmatan-Nya). Serta debatlah mereka dengan cara baik (yakni bantahlah mereka dengan bantahan yang terbaik), dari selain bantahan itu engkau berpaling dari siksaan yang mereka berikan kepadamu sebagai respon mereka terhadap apa yang engkau sampaikan. Janganlah engkau mendurhakai-Nya dengan tidak menyampaikan risalah Rabb-mu yang diwajibkan kepadamu.) [10]
d.      Tafsir al-Qurân il-‘Azhîm
يقول تعالى امرا رسوله محمدا صلى الله عليه وسلم ان يدعو الخلق بالحكمة.قال ابن جرير:وهوما انزله عليه من الكتاب والسنة.{والموعظة الحسنة} اي : بما فيه  من  الزواجر والوقاءع
بالناس دكرهم بها ليحذروا باء س الله تعلى. { وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ } أي: من احتاج منهم إلى مناظرة وجدال، فليكن بالوجه الحسن برفق ولين وحسن خطاب، كما قال: { وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ } [العنكبوت:46] . فأمره تعالى بلين الجانب، كما أمر موسى وهارون، عليهما السلام، حين بعثهما إلى فرعون فقال: { فَقُولا
لَه قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى } [طه :44]
وقوله: إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِين.َ  أي: قد علم الشقي منهم والسعيد، وكتب ذلك عنده وفرغ منه، فادعهم إلى الله، ولا تذهب نفسك على من ضل منهم  حسرات،  فإنه  ليس عليك  هداهم إنما أنت نذير،  عليك
البلاغ، وعلينا الحساب
Artinya:
(Allah, Zat Yang Mahatinggi, berfirman dengan memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad SAW., untuk menyeru segenap makhluk kepada Allah dengan hikmah.  Ibn Jarir menyatakan, bahwa maksud dari hal tersebut adalah apa saja yang diturunkan kepadanya baik al-Quran, as-Sunnah. Dan nasihat yang baik, artinya dengan apa saja yang dikandungnya berupa peringatan (zawâjir) dan realitas-realitas manusia.  Memperingatkan mereka dengannya supaya mereka waspada terhadap murka Allah SWT.  Debatlah mereka dengan debat terbaik’ artinya barang siapa di antara mereka yang berhujah hingga berdebat dan berbantahan maka lakukanlah hal tersebut dengan cara yang baik, berteman, lembut, dan perkataan yang baik.  Hal ini seperti firman Allah SWT. dalam surat al-‘Ankabut (29): 46 (yang artinya): Janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Dia memerintahkannya untuk bersikap lembut seperti halnya Dia memerintahkan hal tersebut kepada Musa a.s. dan Harun a.s. ketika keduanya diutus menghadap Fir’aun seperti disebut dalam surat Thaha (20) ayat 44 (yang artinya):  Katakanlah oleh kalian berdua kepadanya perkataan lembut semoga dia mendapat peringatan atau takut. Firman-Nya “Sesungguhnya Rabb-mu Dialah Maha Mengetahui terhadap siapa yang sesat dari jalan-Nya” artinya Sungguh Dia telah mengetahui orang yang celaka dan bahagia di antara mereka. Dan Allah telah menuliskan dan menuntaskan hal itu disisinya. Oleh karena itu, serulah mereka kepada Allah, dan janganlah engkau merasa rugi atas mereka yang sesat, sebab bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapatkan petunjuk, engkau semata-mata pemberi peringatan, engkau wajib menyampaikan dan Kami yang wajib menghisabnya.)”[11]

4.  Analisis Tafsir An Nahl ayat 125

a.  Makna Hikmah
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia   hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan, kesaktian dan makna yang dalam.[12]  Secara bahasa al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan amal.[13]  Menurut ar-Raghib, al-hikmah berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal yang baik.[14] Menurut Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman, akal, dan kebenaran dalam ucapan selain kenabian. At-Thabary mengatakan bahwa Hikmah dari Allah SWT  bisa berarti benar dalam keyakinan dan pandai dalam din dan akal. [15]
            Adapun Abdul Aziz bin Baz bin Abdullah bin Baz  berdasarkan penelitiannya menyimpulkan bahwa hikmah mengandung arti sebagai berikut:
والمراد بها: الأدلة المقنعة الواضحة الكاشفة للحق، والداحضة للباطل؛ ولهذا قال بعض المفسرين: المعنى: بالقرآن؛ لأنه الحكمة العظيمة؛ لأن فيه البيان والإيضاح للحق بأكمل وجه، وقال بعضهم: معناه: بالأدلة من الكتاب والسنة.
Artinya:
“Dan yang dimaksud dengan hikmah adalah: petunjuk yang memuaskan, jelas, serta menemukan (mengungkapkan) kebenaran, dan membantah kebatilan. Oleh karena itu, telah berkata sebagian mufassir bahwa makna hikmah adalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an adalah hikmah yang agung. Karena sesungguhnya di dalam Al Qur’an ada keterangan dan penjelasan tentang kebenaran dengan wajah yang sempurna (proporsional). Dan telah berkata sebagian yang lain bahwa makna hikmah adalah dengan petunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.”[16]
Pernyataan Abdul Aziz Bin Baz tersebut sejalan dengan pendapat sebagian mufasir terdahulu seperti As-Suyuthi, dan Al-Baghawi, As-Samarkandy yang  mengartikan hikmah sebagai al-Quran.[17] Dan Ibnu Katsir yang menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan Allah berupa al-Kitab dan As-Sunnah.[18]
Penafsiran tersebut tampaknya masih global. Mufasir lainnya lalu menafsirkan hikmah secara lebih rinci, yakni sebagai hujjah atau dalil. Sebagian mensyaratkan hujjah itu harus bersifat qath‘i (pasti), seperti an-Nawawi al-Jawi. Yang lainnya, seperti al-Baidhawi, tidak mengharuskan sifat qath‘i, tetapi menjelaskan karakter dalil itu, yakni kejelasan yang menghilangkan kesamaran[19]. An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang menghasilkan akidah yang meyakinkan[20]. An-Nisaburi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang dapat menghasilkan keyakinan[21]. Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang tepat (al-maqâlah al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menyingkirkan kesamaran (ad-dalil al-muwadhdhih li al-haq wa alimuzîh li asy-syubhah)[22]. Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar (al-maqâlah al-muhakkamah ash-shahîhah).
            Kesimpulannya, jumhur mufasir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil. Dari ungkapan para mufasir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni hujjah yang tertuju pada akal. Sebab, para mufasir seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna.
Al-burhân al-‘aqlî (argumentasi logis) yang di maksud adalah  argumentasi yang masuk akal, yang tidak dapat dibantah, dan yang memuaskan. Yang dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan siapa saja. Sebab, manusia tidak dapat menutupi akalnya di hadapan argumentasi-argumentasi yang pasti serta pemikiran yang kuat. Argumentasi logis mampu membongkar rekayasa kebatilan, menerangi wajah kebenaran, dan menjadi api yang mampu membakar kebobrokan sekaligus menjadi cahaya yang dapat menyinari kebenaran.
Hikmah, memang, kadangkala berarti menempatkan persoalan pada tempatnya; kadangkala juga berarti hujjah atau argumentasi. Dalam ayat ini, tidak mungkin ditafsirkan dengan makna menempatkan persoalan pada tempatnya. Makna hikmah dalam ayat ini adalah hujah dan argumentasi
Dakwah atau pengajaran dengan cara hikmah, umumnya diberikan oleh seseorang untuk menjelaskan sesuatu kepada pendengarnya yang ikhlas untuk mencari kebenaran.  Hanya saja, ia tidak dapat mengikuti kebenaran kecuali bila akalnya puas dan hatinya tenteram.
2. Makna Mau‘izhah Al-hasanah.
Sebagian mufasir menafsirkan mau’izhah hasanah (nasihat/peringatan yang baik) secara global, yaitu nasihat atau peringatan al-Quran (mau’izhah al-Qur’an). Demikian pendapat al-Fairuzabadi, as-Suyuthi, dan al-Baghawi. Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit menambahkan, dapat juga maknanya perkataan yang lembut (al-qawl ar-raqîq).
Merinci tafsiran global tersebut, para mufasir menjelaskan sifat mau’izhah hasanah sebagai suatu nasihat yang tertuju pada hati (perasaan), tanpa meninggalkan karakter nasihat itu yang tertuju pada akal. Sayyid Quthub menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu  il­â al-qulûb bi rifq).[23] An-Nisaburi menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalâ’il al-iqna’iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang yang telah diterima.[24] Al-Baidhawi dan Al-Alusi menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât al-muqni‘ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-‘ibâr al-nâafi‘ah).[25] An-Nawawi al-Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amârât azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan.[26] Al-Khazin menafsirkan mau’izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan kemaksiatan).[27]
Dari berbagai tafsir itu, karakter nasihat yang tergolong mau’izhah hasanah ada dua: Pertama, menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufasir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ’il (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami. Kedua, menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufasir menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi, misalnya, mengunakan kata dalâ’il iqnâ‘iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni‘ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ‘) jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil. Di antara upaya untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan targhîb dan tarhîb, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Khazin. 
Al-Quran telah mempraktikkan hal tersebut, pada saat ia menyeru pemikiran ia pun mempengaruhi perasaan manusia. Oleh karena itu  di dalam proses  pengajaran dan pendidikan hendaklah mengandung unsur-unsur tersebut. Adapun mau’izhah al hasanah atau nasihat yang baik, umumnya dengan cara  memberikan berita gembira dan berita peringatan dari Allah Pencipta alam.  Misalnya firman Allah SWT.dalam Surat Al-A’raf ayat 179:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا  لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ  أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ  آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا  أُولَئِكَ
كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan isi neraka Jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai pikiran tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah).  Mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk memperhatikan (ayat-ayat Allah). Mereka juga mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah).  Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”.[28]
   Seruan dengan mau‘izhah hasanah ini tertuju pada orang-orang yang kemampuan berpikirnya tidak secanggih golongan yang diseru dengan hikmah, tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus. Demikian menurut al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi.
QS. Al-Maidah : 67
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Sabi’in dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.

a. Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah Mengutusku untuk mengemban risalah kerasulan. Hal tersebut menyesakkan dadaku, karena aku tahu orang-orang akan mendustakan risalahku. Allah Memerintahkan kepadaku untuk menyampaikannya, dan kalau tidak, Allah akan Menyiksaku”. Maka turunlah ayat ini (QS.Al-Maidah:67) yang mempertegas perintah penyampaian risalah disertai jaminan akan keselamatannya. (Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh yang bersumber dari Al-Hasan).
Dalam riwayat lain dikemukakan, ketika turun ayat, Ya ayyuhar rasulu balligh ma unzila ilaika mir rabbik…(Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu…) (sebagian QS.Al-Maidah:67), Rasulullah bersabda:”Ya Rabbi! Apa yang harus aku perbuat, padahal aku sendirian dan mereka berkomplot menghadapiku”. Maka turunlah kelanjutan ayat tersebut yang menegaskan perintah penyampaian risalah kenabian. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Mujahid)
 Dalam riwayat lain dikemukakan, Siti ‘Aisyah menyatakan bahwa Nabi saw. biasa dijaga oleh para pengawalnya, sampai turun ayat, …wallahu ya’shimuka minan nas… (… Allah Memelihara kamu dari (gangguan) manusia…) (QS. Al-Maidah:67). Setelah ayat itu turun, Rasulullah menampakkan diri dari Kubah sambil bersabda: “Wahai saudara-saudara, pulanglah kalian, Allah telah Menjamin Keselamatanku dalam menyebarkan dakwah ini. Sesungguhnya malam seperti ini baik untuk tidur di tempat masing-masing”. (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan At-Tirmidzi, yang bersumber dari ‘Aisyah).
 Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Al-Abbas, paman Nabi saw., termasuk pengawal Nabi. Ketika turun ayat,…. Wallahu ya’shimuka minan nas… (…Allah Memelihara kamu dari (gangguan) manusia…) (QS.Al-Maidah:67), ia pun meninggalkan pos penjagaannya. (Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani yang bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri).
 Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa para shahabat biasanya mengawal Rasul saw. pada waktu malam, sampai turun ayat,… wallahu ya’shimuka minan nas… (…Allah Memelihara kamu dari (gangguan) manusia…) (QS. Al-Maidah:67). Sejak turun ayat tersebut mereka pun meninggalkan pos penjagaannya. (Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani yang bersumber dari ‘Ishmah bin Malik al-Khathmi).
 Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa para shahabat pernah meninggalkan Rasulullah berhenti di dalam perjalanan, dan beliau berteduh di bawah pohon yang besar. Ketika itu beliau menggantungkan pedangnya di pohon itu. Maka datanglah seorang laki-laki dan mengambil pedang Rasul sambil berkata: “Siapa yang akan menghalangi engkau dariku, hai Muhammad?” 
 Rasulullah saw. bersabda: “Allah yang akan Melindungiku darimu. Letakkanlah pedang itu!”. Seketika itu juga pedang tersebut diletakkannya kembali. Maka turunlah ayat ini (QS.Al-Maidah:67) yang menegaskan jaminan keselamatan jiwa Rasulullah dari tangan-tangan usil manusia. (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab shahih-nya,yang bersumber dari Abu Hurairah).
 Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah pernah berhenti untuk beristirahat dalam peperangan Bani Anmar, di Dzatir Raqi’ di kebun kurma yang paling tinggi. Beliau duduk di atas sebuah sumur sambil menjulurkan kakainya. Berkatalah Al-Warits dari Banin Najjar kepada teman-temannya: “Aku akan membunuh Muhammad”. Teman-temannya berkata:”Bagaimana cara membunuhnya?” Ia berkata: “Aku akan berkata:”cobalah berikan pedangmu. Dan apabila ia memberikan pedangnya, aku akan membunuhnya”. Ia pun pergi mendatangi Rasul dan berkata: “Hai Muhammad! Berikan pedangmu kepadaku agar aku menciumnya”. Pedang itu oleh Rasul diberikan kepadanya, akan tetapi tangannya gemetar. Bersabdalah Rasul saw. : “Allah menghalangi maksud jahatmu”. Maka turunlah ayat ini (QS.Al-Maidah:67) yang menegaskan jaminan keselamatan jiwa bagi Rasulullah. ( diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Marduwaih, yang bersumber dari Jabir bin ‘Abdillah).
 Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah biasa mendapat pengawalan. Setiap hari Abu Thalib pun mengirimkan pengawal-pengawalnya dari Bani Hasyim untuk menjaganya. Ketika turun ayat ini (QS.Al-Maidah:67), Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Thalib yang akan mengirimkan pengawalnya: “Wahai pamanku! Sesungguhnya Allah telah menjamin keselamatan jiwaku dari perbuatan jin dan manusia”. (diriwayatkan oleh ibnu Marduwaih dan ath-Thabarani, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Hadist ini gharib.

b. Tafsir
Hai Rasul, sampaikanlah kepada semua orang segala yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu yang memiliki perkaramu, dan menyampaikan kamu pada kesempurnaan, dan janganlah kamu khawatir dalam menyampaikan itu terhadap seorang pun, dan jangan takut kamu ditimpa bahaya karenanya.
Dan kalau kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan kepadamu, yakni menyampaikan apa yang telah diturunkan kepdamu, umpamanya kamu sembunyikan, sekalipun hanya untuk sementara, karena takut disakiti orang, baik dengan perkataan atau perbuatan, maka sudah cukup merupakan dosa bagimu bila kamu tidak menyampaikan risalah dan tidak melaksanakan apa yang karenanya kamu diutus.
Hai Muhammad, engkau harus menyampaikan risalah yang diembankan Allah swt. di atas pundakmu. Engkau harus menyampaikan agama yang dititipkan kepadamu ini dan tidak menguranginya sedikit pun. Jika engkau menyembunyikan sesuatu, berarti engkau tidak menunaikan amanah secara benar, tidak menyampaikan risalah, dan tidak memberi nasihat kepada umat.
Janganlah engkau takut untuk menyampaikan risalah ini. Sebab, Allah swt akan menjagamu, menggagalkan tipu daya musuh-musuhmu, dan mengurus perkaramu. Karena siapa pun yang memusuhimu berarti ia kafir. Allah swt tidak meluruskan jalan orang yang kafir serta tidak menunjukinya jalan yang benar. Dia swt tidak memberinya taufik kepada kebaikan apa pun. Risalah dari Allah swt. Tugas Rasul adalah menyampaikannya. Allah swt telah menjelaskan risalah-Nya, Rasul telah menunaikan amanahnya, dan kita pun menerima dan membenarkannya.

Ali-Imran ayat 104
http://kawansejati.ee.itb.ac.id/alquran-digital/img/s003/a104.png
104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.
Tafsir ibnu Katsir

Allah SWT berfirman bahwasanya hendaklah ada dari kalian sejumlah orang yang bertugas untuk menegakkan perintah Allah, yaitu dengan menyeru orang-orang untuk berbuat kebajikan dan melarang perbuatan yang mungkar, mereka adalah golongan yang beruntung.

Adh Dhahhak mengatakan, mereka adalah para shahabat yang terpilih, para mujahidin yang terpilih, dan para ulama.


Abu Ja’far Al-Baqir meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya : ”Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan” (Ali Imran 104)

Kemudian beliau Saw. bersabda : “Yang dimaksud dengan kebajikan ini ialah mengikuti Al-Qur’an dan sunnahku.” Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih.

Makna yang dimaksud dari ayat ini ialah hendaklah ada segolongan orang dari kalangan umat ini yang bertugas untuk mengemban urusan tersebut, sekalipun urusan tersebut memang diwajibkan pula atas setiap individu dari umat ini.

Sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Shahih Muslim dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda : “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya. Dan jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika masih tidak mampu juga, maka dengan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.”
Di dalam riwayat lain disebutkan : “Dan tiadalah dibelakang itu (selain dari itu) iman barang seberat biji sawi pun.”

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ja’far, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Amu Amr, dari jarullah ibnu Abdur Rahman Al-Asyhal, dari Hudzhaifah ibnu Yaman, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda :

“Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, kalian benar-benar harus memerintahkan kepada kebajikan dan melarang perbuatan mungkar, atau hampir-hampir Allah akan mengirimkan kepada kalian siksa dari sisi-Nya, kemudian kalian benar-benar berdoa (meminta pertolongan kepada-Nya), tetapi doa kalian tidak diperkenankan.”

Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadits Amr ibnu Abu Amr dengan lafaz yang sama. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Tafsir dari Departemen Agama Pemerintah Indonesia

Untuk mencapai maksud tersebut perlu adanya segolongan umat Islam yang bergerak dalam bidang dakwah yang selalu memberi peringatan, bilamana nampak gejala-gejala perpecahan dan penyelewengan. Karena itu pada ayat ini diperintahkan agar supaya di antara umat Islam ada segolongan umat yang terlatih di bidang dakwah yang dengan tegas menyerukan kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf (baik) dan mencegah dari yang mungkar (keji).

Dengan demikian umat Islam akan terpelihara daripada perpecahan dan infiltrasi pihak manapun. Menganjurkan berbuat kebaikan saja tidaklah cukup tetapi harus dibarengi dengan menghilangkan sifat-sifat yang buruk. Siapa saja yang ingin mencapai kemenangan. maka ia terlebih dahulu harus mengetahui persyaratan dan taktik perjuangan untuk mencapainya, yaitu: kemenangan tidak akan tercapai melainkan dengan kekuatan, dan kekuatan tidak akan terwujud melainkan dengan persatuan. Persatuan yang kokoh dan kuat tidak akan tercapai kecuali dengan sifat-sifat keutamaan. Tidak terpelihara keutamaan itu melainkan dengan terpeliharanya agama dan akhirnya tidak mungkin agama terpelihara melainkan dengan adanya dakwah.

Maka kewajiban pertama umat Islam itu ialah menggiatkan dakwah agar agama dapat berkembang baik dan sempurna sehingga banyak pemeluk-pemeluknya. Dengan dorongan agama akan tercapailah bermacam-macam kebaikan sehingga terwujud persatuan yang kokoh kuat. Dari persatuan yang kokoh tersebut akan timbullah kemampuan yang besar untuk mencapai kemenangan dalam setiap perjuangan. Mereka yang memenuhi syarat-syarat perjuangan itulah orang-orang yang sukses dan beruntung.
Tafsir Al-Maraghi
http://kawansejati.ee.itb.ac.id/alquran-digital/img/s003/a104.png
Hendaklah ada diantara kalian suatu golongan yang membeda, bekerja membeda, bekerja untuk dakwah, amar ma’ruf dan nahi maunkar.
Orang yang diajak bicara dalam ayat ini ialah kaum Mu’minin seluruhnya.
Syarat Amar Ma’ruf Nahi Munkar
1.      Hendaknya pandai dalam bidang al-Qur’an, sunnah dan sirah Nab Muhammad saw dan khulafaur rasyidinra.
2.      Hendaknya pandai membaca stuasi orangorang yang sedang menerima dakwahnya, baik dalam urutan bakat, watak, dan akhlak mereka. Atau singkatnya, mengetahui kehdupan sosial mereka.
3.      Hendaknya ia mengetahui bahasa umatyang dituju oleh dakwahnya.
4.      Mengetahui agama, aliran, sekte-sekte masyarakat agar juru dakwah bsa mengetahui kebatilan-kebatilan yang trkandung padanya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar